DIALEKSIS.COM | Aceh - Tumpukan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) di Aceh kembali menjadi cermin ketidakmampuan daerah mengelola belanja publik. Anggaran yang besar tak otomatis menjelma pembangunan. Justru sebagian dana mengendap, gagal diserap tepat waktu.
“Anggaran tersedia, tapi masyarakat tidak merasakan manfaat optimal,” tulis Rahmad Dian Afryansyah, Kepala Seksi PSAPP Kanwil DJPb Provinsi Aceh, dalam opini yang dipublikasikan di laman resmi DJPb Kementerian Keuangan (djpb.kemenkeu.go.id).
Menurut Rahmad, pola berulang muncul setiap tahun. Lelang proyek terlambat, dokumen teknis tidak siap, perencanaan longgar. Akibatnya, serapan anggaran baru bergerak menjelang akhir tahun.
“Hambatan teknis birokrasi memperlihatkan lemahnya disiplin perencanaan,” tulisnya.
Secara dampak Rahmad menjelasnya efeknya jelasnya pembangunan jalan, sekolah, dan layanan kesehatan terhambat. Dana tetap ada di kas daerah, sementara kebutuhan publik terabaikan. SiLPA yang besar, menurut Rahmad, bukanlah prestasi penghematan. Sebaliknya, tanda bahwa pemerintah daerah gagal mengeksekusi mandat anggaran.
Rahmad menawarkan tiga resep yakni perencanaan presisi sejak awal tahun, peningkatan kapasitas birokrasi terutama dalam pengadaan, dan monitoring ketat lewat evaluasi triwulanan. Dengan begitu, belanja publik bisa bergerak lebih cepat dan masyarakat merasakan manfaat setiap rupiah APBD.