Minggu, 13 Juli 2025
Beranda / Pemerintahan / Taman Pemulihan di Atas Luka: WamenHAM Mugiyanto Resmikan Memorial Living Park Rumoh Geudong

Taman Pemulihan di Atas Luka: WamenHAM Mugiyanto Resmikan Memorial Living Park Rumoh Geudong

Kamis, 10 Juli 2025 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (WamenHAM) Mugiyanto bersama Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra meresmikan Memorial Living Park Rumoh Geudong. Foto: Kolase Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Pidie - Di tengah hamparan hijau Desa Bili, Pidie, tempat yang dulu menyimpan jejak kekerasan kini berganti wajah. Kamis pagi, 10 Juli 2025, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (WamenHAM) Mugiyanto bersama Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra meresmikan Memorial Living Park Rumoh Geudong sebuah ruang pemulihan yang dibangun di atas situs bekas pelanggaran HAM berat masa konflik Aceh.

Peresmian kompleks memorial yang berdiri di atas lahan lebih dari 7.000 meter persegi itu menjadi momen simbolik dan politis. Negara hadir, bukan sekadar untuk mengenang, melainkan juga mengakui dan memulihkan.

“Kita tidak sedang membuka luka lama, tetapi membangun jembatan pemulihan untuk menyambung kembali kemanusiaan dan persaudaraan kita yang pernah terkoyak,” kata Mugiyanto dalam pidatonya, disambut keheningan yang khidmat dari para penyintas, pejabat, dan warga yang hadir.

Rumoh Geudong dikenal sebagai salah satu lokasi paling gelap dalam sejarah konflik Aceh. Dalam ingatan kolektif masyarakat, rumah itu lebih mirip penjara tanpa proses hukum, tempat penyiksaan, intimidasi, dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara sistematis.

Kini, situs itu ditransformasi menjadi Memorial Living Park”sebuah taman ingatan dan harapan. Di dalamnya terdapat monumen peringatan, taman damai, masjid, ruang edukasi HAM, serta fasilitas umum seperti menara air dan sumur bor yang disediakan untuk warga sekitar.


Taman ini, menurut Mugiyanto, bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah bentuk kehadiran negara dalam pemulihan non-yudisial bagi para korban pelanggaran HAM berat, bagian dari amanat konstitusi untuk memenuhi hak asasi yang telah lama terabaikan.


“Pemulihan ini bukan semata belas kasihan, tapi bentuk nyata penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Negara wajib hadir,” ujarnya.


Pengakuan, Rekonsiliasi, dan Jaminan Ketidakberulangan

Langkah membangun taman memorial ini merupakan implementasi dari prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya pemenuhan hak korban atas pengakuan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan. Dalam doktrin HAM internasional, ketiga prinsip ini menjadi kunci dalam menutup luka sejarah secara adil dan bermartabat.


Mugiyanto menegaskan, negara tidak hanya ingin mengakui tragedi masa lalu, tetapi juga berkomitmen menjadikannya pelajaran kolektif. Pemerintah, kata dia, akan terus mendorong pemulihan holistik bagi para penyintas, termasuk melalui bantuan sosial, layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan akses pendidikan.


“Semoga taman ini menjadi pengingat dan penguat komitmen kita semua, bahwa pelanggaran HAM berat tidak boleh terjadi lagi di bumi Indonesia,” ujarnya.


Kolaborasi Tiga Pilar: Negara, Daerah, dan Masyarakat Sipil

Pembentukan Memorial Living Park bukan hanya urusan kementerian. Ini adalah hasil kolaborasi multipihak”pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil. Kementerian Hukum dan HAM, ujar Mugiyanto, berkomitmen memastikan pengelolaan taman ini dilakukan secara partisipatif, terutama melibatkan para penyintas.


“Kami ingin taman ini menjadi pusat peradaban, bukan hanya tempat mengenang. Sebuah ruang hidup tempat nilai-nilai kemanusiaan terus tumbuh melalui tindakan nyata,” tuturnya.


Taman memorial ini dirancang bukan sebagai ruang bisu. Di masa depan, ia diharapkan menjadi ruang terbuka untuk dialog lintas generasi tentang perdamaian, keadilan transisional, dan hak asasi manusia”hal-hal yang selama ini jarang mendapatkan panggung di ruang publik.



Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI