Beranda / Berita / Pojok Iqbal / Buah Simalakama Untuk Presiden

Buah Simalakama Untuk Presiden

Selasa, 27 April 2021 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Iqbal Ahmady

Foto: Bettmann Archive/Getty Images


Bagaimana rasanya tiba-tiba menemukan dunia sekeliling berubah seketika? Betapa mengganggunya bagi manusia, wabah penyakit varian terbaru dari virus corona menyerang dunia tanpa pandang bulu. Menjangkiti siapapun yang terpapar, dan belum ditemukan obat penawarnya.

Ada banyak tragedi tentang bagaimana wabah melumat peradaban manusia. Salah satu rangkuman paling direkomendasikan untuk dibaca ialah buku yang berjudul La Peste (Bahasa Prancis) atau The Plague (1947), yang terbitan terjemahan Indonesia berjudul Sampar. Sebuah novel filosofis karangan Albert Camus, peraih nobel sastra tahun 1957.

Buku Sampar menceritakan wabah penyakit pes menjalari penduduk Kota Oran. Penyakit yang menulari warga ke warga lainnya, hingga menjadi epidemi yang menyebabkan kepanikan massal dan kondisi chaos. Buku ini adalah intisari dari beberapa potongan sejarah wabah penyakit yang melanda dunia. Camus menghabiskan waktunya mempelari pelbagai sejarah pandemi, buku-buku tentang Black Death (Wabah Kematian Hitam) yang membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa pada abad ke-14; lalu wabah Italia tahun 1629-31 yang menewaskan hampir tiga ratus ribu orang; wabah besar London tahun 1665 yang menewaskan 20 persen penduduk kota; serta wabah yang menghancurkan kota-kota di pesisir timur Tiongkok selama abad ke-18 dan ke-19.

Apa konklusi moralitas yang ditawarkan Camus? Sampar adalah kondisi umum, sering terjadi. Ada banyak wabah di dunia sama seperti ada perang. Namun wabah dan perang selalu menemukan orang yang sama-sama tidak siap. Ketika perang terjadi, orang-orang berkata: "Itu tidak akan bertahan lama, itu hanya suatu yang lemah dan bodoh." Dan perang tentu saja tentang kebodohan, tetapi tidak lantas mencegahnya untuk bertahan lama.

Begitu juga wabah, Camus merefleksikan sikap ketidakpercayaan orang-orang kepada wabah penyakit. Sampar yang tidak memiliki wujud, dianggap tidak nyata. Orang-orang terlalu sombong karena hanya menganggap hanya ilusi mimpi buruk belaka. Mereka tetap berjualan dan melakukan perjalanan seperti biasa, serta bersikeras dalam pendapat menyepelekan masa depan. Mereka menganggap diri mereka bebas padahal tidak ada yang akan benar-benar bebas selama ada wabah, hanya ada penyakit dan kelaparan.

Mungkin wabah ini bukan apa-apa secara ukuran jumlah korban jiwa dibandingkan dengan wabah-wabah terdahulu. Tetapi dampak rusaknya sangat besar terhadap sendi kehidupan manusia modern, dimana manusia telah berada pada era globalisasi ekonomi dan borderless world (dunia tanpa batas). Kerusakan ekonomi mulai dari skala makro seperti pondasi ekonomi negara dan hingga mikro seperti penghasilan harian masyarakat bawah. 

Indonesia sebenarnya beruntung, mendapat antrian jatah giliran belakangan menghadapi virus. Sejak terdeteksi pada Desember 2019 di Wuhan, pasien pertama yang terdata resmi di Indonesia baru pada awal Maret 2020. Belum genap sebulan setelahnya, Indonesia mencatat ribuan orang positif serta ratusan meninggal dunia. Hingga April 2021 jumlah korban mencapai satu juta setengah lebih. Angka yang diyakini lebih besar mengingat banyak keterbatasan dalam upaya pengumpulan data. Potensi bisa akan semakin membesar, semua pihak telah mengupayakan pencegahan agar pada 2021 tidak menjadi sebuah tragedi.

Nah, apa saja yang terjadi pada rentan waktu antara Desember hingga Maret tahun 2020? Kita mendapati media sosial penuh dengan olokan dan ejekan merendahkan kemampuan virus, ketidakpedulian orang-orang dan yang paling parah sikap para pengelola kebijakan. Kebijakan yang membuat para pakar kesehatan dunia menahan mual seperti saat melihat pemberian diskon penerbangan kepada para pelancong oleh pemerintah, agar mengunjungi destinasi wisata Indonesia. Kebijakan yang tentu saja membuka kotak pandora. Seperti Camus tulis dalam Sampar, jalan masuk wabah harus ditahan, dan jangan pernah meremehkan.

Ada alasan lain yang jarang disorot mengenai kebijakan pariwisata. Sebelum pandemi melanda, kondisi industri pariwisata indonesia memang sedang baik-baiknya. Hasil dari perhatian besar Jokowi untuk sektor ini beberapa tahun terakhir. Menjadi sebuah dilema besar, saat menghadapi masa panen justru hama datang. Dilema lain yang tidak kalah penting adalah hancurnya sektor bisnis transportasi. 

Jika penerbangan dihentikan, investasi bandara-bandara baru nan mahal milik BUMN otomatis merugi besar. Selanjutnya maskapai penerbangan di negara ini dikuasai duopoli perusahaan; satu kepunyaan negara, yang baru selesai bersih-bersih dengan target kedepan harus untung; Dan satunya lagi kepunyaan teman dekat Presiden, donatur bonafide yang punya andil besar dalam kemenangan pada Pilpres 2019.

Itu hanya salah satu dilema, tentu banyak alasan senada yang membikin kepala Presiden pusing mengambil langkah terbaik, win-win solution (sama-sama menang) bagi kelompok kepentingan ekonomi berhadapan dengan kesehatan publik. Gambaran dilematis ini pernah dijelaskan oleh Lester C Thurow, Profesor Ekonomi dan manajemen di Massachusetts Institute of Technology, dalam buku The Zero-Sum Society: Distribution and the Possibilities for Economic Change (1980).

Thurow menjelaskan setiap masalah ekonomi politik dalam negara, menjadi keniscayaan menghasilkan solusi kebijakan bersifat zero sum game. Layaknya pertandingan olahraga, sebuah tim bisa menang ketika tim satunya lagi kalah. Dalam perumusan kebijakan pun sama, ketika satu kelompok menang, pasti ada kelompok yang kalah. Masalahnya, siapa yang sukarela mau menerima kekalahan, berkorban atau secara dipaksakan. Pastinya, harus ada yang ditumbalkan.

Presiden Jokowi dalam penangganan terhadap pandemi punya satu keputusan yang masih ia pertahankan hingga saat ini. Langkah berani untuk kukuh menolak lockdown total, yang ribut didesak oleh sebagian pihak di media sosial pada awal-awal terjadinya pandemi. Kebijakan yang dipilih lebih soft yakni ialah pembatasan sosial berskala besar, dengan mempertimbangkan berbagai aspek sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Jokowi juga mengeluarkan berbagai paket kebijakan bantuan sebagai stimulus untuk golongan yang paling terdampak. Kelihatannya, sebuah kebijakan naif telah dikeluarkan.

Secara terminologi naif berarti kurang pintar; tidak masuk akal atau polos; lugu; terlalu lurus. Menurut hemat penulis, dalam situasi segenting ini justru yang sangat dibutuhkan ialah kebijakan yang naif. Hanya itu merupakan salah satu dari sedikit cara mengakali keniscayaan teori zero sum game milik Thurow. Pemerintah berusaha berada ditengah laba dan rugi, menyeimbangkan alokasi penambahan dengan pengurangan tetap seimbang untuk semua kelompok.

Presiden mengambil kebijakan untuk menghadapi wabah penyakit, seperti memakan buah simalakama; jika dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah yang mati. Seperti dalam beberapa kali pernyataan langsung, Presiden memprioritaskan kesehatan rakyat sekaligus menyelamatkan dari bencana kelaparan pasca wabah. Dengan berat hati Presiden harus memilih keputusan yang paling sedikit keburukannya. Pemerintah berusaha berada ditengah laba dan rugi, menyeimbangkan alokasi penambahan dengan pengurangan tetap seimbang untuk semua kelompok.

Keputusan telah diambil, kita semua menunggu akankah hasilnya sama-sama menang, antara menyelamatkan ekonomi dengan memperjuangkan kesehatan warga? Kebijakan ialah aturan bersifat mengikat dan memaksa, berlaku kolektif untuk seluruhnya. Terserah ada yang senang maupun tidak. Seperti kata Camus dalam Sampar, masyarakat segera merasakan tidak ada gunanya memikirkan penderitaan pribadi mereka, karena wabah itu menghapus “keunikan kehidupan setiap orang” bahkan ketika itu meningkatkan kesadaran setiap orang tentang kerentanan dan ketidakberdayaannya untuk merencanakan masa depan.

Bagaimanapun, sebelum mengeluarkan kebijakan pemerintah telah melakukan kajian dan pertimbangan matang yang melibatkan para pakar dan ahli. Sebaiknya, segenap masyarakat dapat mematuhinya demi kepentingan bersama. Semua harus patuh dan taat, agar kemalangan ini cepat berlalu. Dan bagi pemangku kebijakan, seperti Thurow tuliskan: Dalam keadaan yang sebenarnya, kita tidak punya partai politik, yang ada hanyalah Presiden. Dia merasa jadi milik semua orang dan karena itu ia tidak ingin melukai siapapun. Jangan lupa satu nasihat penting yang harus diingat, jika zero sum game terpaksa tetap terjadi, dan harus ada pihak yang kalah dan yang harus menerima kerugian, maka kepentingan masyarakat banyak (civil society functions) yang harus tetap menjadi pemenangnya.

Iqbal Ahmady M Daud (Pengajar di Ilmu Politik FISIP Unsiversitas Syiah Kuala, Aceh)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda