Beranda / Berita / Pojok Iqbal / Liburan Para Penguasa

Liburan Para Penguasa

Rabu, 20 Mei 2020 16:12 WIB

Font: Ukuran: - +

Soeharto ketika membacakan pengunduran diri pada 21 Mei 1998 di Istana Negara. [dok. REUTERS]


Siapa yang tidak suka dengan liburan. Mengunjungi tempat-tempat indah dan menakjubkan. Selain berfungsi untuk melepas kepenatan, kegiatan ini juga menambah wawasan akan betapa luasnya dunia dengan segala ragam kekayaan dan keindahan.

Namun, liburan bagi para pemimpin negara bukanlah hal biasa. Perjalanan yang seharusnya berjalan dan berakhir indah, sering menjadi insiden bahkan musibah. Dari banyak cerita tentang liburan berakhir malapetaka, kita pilih beberapa saja yang cukup mengambarkan situasi berbahaya tersebut.

Kwame Nkrumah bukan hanya sekedar presiden pertama Ghana. Nkrumah menjelma menjadi tokoh politik sentral paling berpengaruh untuk Benua Afrika. Perannya sebagai proklamator kemerdekaan Ghana, menginspirasi kemerdekaan negara-negara Afrika. Nkrumah menjadi pionir pembentukan Organisasi Persatuan Afrika (gerakan Pan Afrikanisme) pada tahun 1963.

Bersama pemimpin besar seperti Josip Broz Tito Presiden Yugoslavia, Soekarno Presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser Presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru Perdana Menteri India, mendirikan Gerakan Non-Blok dalam menghadapi hegemoni Blok Barat (Amerika Serikat serta sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet plus pendukungnya).

Pesona Nkrumah semacam Soekarno di Indonesia, bahkan bisa dikatakan melebihi. Jika Soekarno punya teman seangkatan yang sama kuat semisal; Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Yamin, Agus Salim dan beberapa lainnya yang mengalah mundur untuk memberi panggung kepada Soekarno. Maka Nkrumah sendirian menjadi tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Ghana.

Sangat disayangkan, curriculum vitae mentereng itu tidak membuat Nkrumah bebas dari upaya kudeta. Pada bulan Februari 1966, Nkrumah melakukan kunjungan kenegaraan ke Vietnam Utara dan Cina. Melancong ketempat kawan dekatnya.

Sebenarnya saat itu, langkah Nkrumah untuk bepergian tidak tepat. Kondisi politik internal negara sedang memanas. Dimulai dari krisis ekonomi pada tahun 1960. Pemaksaan pembangunan mercusuar dengan biaya besar. Semakin meledak saat ia mengkondisikan status "Presiden Seumur Hidup" untuk dirinya sendiri, dan menangkapi siapapun yang mengkritisi.

Ketidakhadirannya di dalam negeri, dimanfaatkan dengan baik oleh lawan politik. Upaya kudeta dipimpin oleh militer, polisi nasional, dan dukungan dari para birokrat, berjalan efektif dan sukses. Mereka menguasai pemerintahan tanpa ampun.

Pada 24 Febuari 1966, Nkrumah turun tahta. Ia baru tahu kabar itu sesampainya di China. Makanan paling enak yang dihidangkan oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, terasa hambar. Presiden mana yang (masih) akan menikmati makanan enak dan liburan, saat tahu tahtanya jatuh.

Setali tiga uang, Thaksin Shinawatra mengalami nasib yang sama. Thaksin menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand dalam kurun waktu 2001-2006. Memulai karir singkat selama belasan tahun di dinas kepolisian, Thaksin mundur dari institusi itu untuk fokus pada bisnis komputer.

Perusahaan komputer dan teknologi yang dirintisnya, maju pesat. Kepiawaiannya berkomunikasi dengan elit politik, menempatkan perusahaannya sebagai vendor utama mitra pemerintah. Perusahan Thaksin menjadi raksasa telekomunikasi di Thailand, menjadikan ia sebagai orang terkaya negeri gajah putih.

Demi menjaga aset besar, Thaksin masuk ke dunia politik. Pernah menjadi menteri luar negeri dan deputi perdana menteri. Lalu mendirikan partai politik sendiri dan menjadi PM pada tahun 2001.

Perselisihan Thaksin dengan kekuatan oposisi meruncing ditahun 2005. Dengan turut dibantu media, tuduhan penyalahgunaan wewenang oleh Thaksin menghasilkan demontrasi rakyat secara besar-besaran. Oposisi bersatu, menuntutnya mundur.

Thaksin bermanuver, desakan mundur dari berbagai kelompok ditanggapinya dengan melaksanakan Pemilu lebih cepat. Thaksin ingin menunjukkan ke publik, bahwa ia masih mengemban legitimasi dari rakyat. Memang benar, ia memenangkan Pemilu yang diboikot oleh partai oposisi. Tapi, supremasi politiknya tidak pernah sembuh kembali.

Thailand terjerembab dalam krisis politik dan yuridis terkait peralihan kekuasaan. Setelah sempat mundur dari jabatan PM pada 4 April 2006, Thaksin bertindak aneh dengan kembali menjabat pada 23 Mei 2006. Olok-olok politik level konstitusional yang terjadi di Thailand dalam tahun-tahun genting, semakin menghilangkan respek masyarakat kepada Thaksin.

Akhirnya, pada malam hari 19 September 2006, kudeta dilancarkan oleh militer yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Thailand, Letjen Sonthi Boonyaratglin, panglima militer Muslim pertama di negeri dengan para perwira militer (dan penduduknya) mayoritas Buddha.

Kudeta terjadi ketika Thaksin sedang melakukan lawatan resmi di New York, dengan agenda menghadiri Sidang Umum PBB dan berbicara di depan Dewan Hubungan Luar Negeri. Thaksin makzul dari jabatan PM, dengan kondisi yang masygul.

Pernyataannya sesaat setelah dikudeta yang paling ingat publik, "Saya tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi. Saya datang ke sini sebagai Perdana Menteri tetapi berangkat pulang sebagai seorang pengangguran." Bahkan, seorang (mantan) PM sekaya Thaksin juga takut dengan status tidak punya pekerjaan.

Kunjungan krusial di tengah gejolak politik dalam negeri, kembali menunjukkan bila ini menjadi sebuah pamali dalam mitos-fakta kekuasaan. Jika sedapatnya dihindari, supaya ganjaran mengerjakan pantangan tidak menimpa diri.

Panglima politik dan pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto, juga pernah mengalami kesialan ini. Menjelang masa kekuasaannya yang ke-32 tahun, dia melakukan perjalanan krusial yang mengakibatkan rezimnya runtuh.

Soeharto seakan tidak pernah belajar dari sejarah. Mengingkari nasihat dari Herodotus, orang Yunani yang pertama sekali membuat lajur metodologi bagi ilmu sejarah, hidup 400-an tahun sebelum masehi yang menyederhanakan makna dari "istilah sejarah", yang menurutnya yakni penuturan suatu kisah jatuh dan bangunnya tokoh, masyarakat dan peradaban.

Awal Mei 1998, setelah kemenangan absolut (begitulah para penjilatnya menyebutkan) pada Pemilu setahun sebelumnya, ia bimbang dengan pertimbangan orang-orang terdekatnya, yang melarang untuk pergi mengunjungi menghadiri pertemuan kepala negara-negara G-15 di Mesir.

Salah satu yang paling getol memperingatkan adalah adik satu ibu, Probosutedjo. Mendesak abangnya untuk tidak berangkat ke luar negeri karena situasi yang sedang tidak baik, sebaiknya tinggal dahulu di Indonesia.

Saat itu, seperti yang telah terjadi lima tahun terakhir, gerakan mendesak perubahan besar-besaran di tubuh pemerintahan telah semakin memuncak. Kekecewaan lintas kelompok terhadap praktik korupsi dan kesewenangan kekuasaan, membesar menunggu meledak saja.

Para aktivis mahasiswa terlibat insiden serius dengan aparat keamanan. Sebagian diculik, sebagian kabur. Masyarakat telah mendidih dan siap menumpahkan amarahnya. Anehnya, Soeharto tetap kukuh dengan lawatannya ke Mesir.

Ia dan rombongan berangkat pada 9 Mei, menghadiri nongkrong-nongkrong para pimpinan negara sahabat lama angkatan Non-Blok, memperbincangkan hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Presiden Soeharto adalah tipikal orang yang memegang teguh ajaran-ajarah luhur klasik Jawa. Ia dikenal manut terhadap banyak primbon yang beredar dalam kultur masyarakat, bahkan ia disebut penganut kejawen.

Untuk seorang dengan keyakinan seperti Soeharto, agak muskil memang jika ia tidak mengacuhkan primbon lama bagi para penguasa, "Risiko paling besar kekuasaan ketika tidak berada dalam jangkauan. Kehadiran adalah segalanya"

Istilah jaga gawang, mensyaratkan para penjaga kekuasaan untuk sesering mungkin berada ditempat. Selain memudahkan untuk mengontrol lapangan, berguna juga untuk melaksanakan tindakan taktis yang terpusat.

Dalam dinamikanya, politik dan kekuasaan gampang sekali masuk angin. Sifat reaktif dan pragmatis manusia, membuat alternatif-alternatif berubah permenitnya. Menjaga setiap orang dalam lingkaran untuk selalu memikirkan hanya ada satu alternatif dalam kepala mereka, membutuhkan lebih dari perintah verbal. Kehadiran menjadi jaminan.

Konsekuensinya, Soeharto membayar harga yang mahal. Tanpa kehadirannya secara langsung, lingkaran hirarki bertindak otonom. Protes mahasiswa ditangani dengan berbeda perintah dan jalur komando. Akibatnya, tanggal 12 Mei 1998 pecah Peristiwa Trisakti, peristiwa berdarah nan mencekam yang terjadi di kampus Universitas Trisakti, Jakarta.

Empat mahasiswa menemui ajal akibat penembakan aparat terhadap peserta demonstrasi, yang awalnya melakukan aksi damai. Ditambah korban luka mencapai hampir 700-an mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, memproduksikan keberanian segenap mahasiswa menentang rezim penindas suara kritis.

Tragedi Trisakti telah membentuk simbol penanda perlawanan mahasiswa, terhadap musuh bersama: Pemerintahan Orde Baru. Bersama masyarakat, bulan Mei terjadi huru-hara besar.

Soeharto terpaksa kembali pulang ke tanah air pada 15 Mei, namun itu terlambat memperbaiki keadaan. Desakan pihak penentang dan bahkan kawan-kawan sendiri, memaksanya mengambil langkah mengundurkan diri. Soeharto lengser keprabon, gara-gara tidak mengacuhkan primbon.

Walaupun cepat atau lambat, kepemimpinan Soeharto tetap akan berakhir, faktor kepergiannya di saat genting berpengaruh besar. Jalan cerita akan berbeda jika dia sendiri yang memegang komando menghadapi situasi pelik. Membatasi para elit politik kala itu untuk tidak bermanuver liar.

Soeharto pun bisa memilih akhir cerita yang bahagia, seperti sahabat lamanya Lee Kuan Yew dari Singapura. Bukan malah seperti sahabatnya yang lain, Ferdinand Marcos dari Filipina, yang kekuasaannya berakhir ambyar merana.

Selanjutnya, seperti potongan tayangan yang saban kali diputar pada setiap tahun di tanggal 21 Mei, sebagai ritual perayaan reformasi, Soeharto didepan pengeras suara dengan kusam berucap, "Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998".

Para penentang Soeharto berteriak, ini adalah jawaban dari doa-doa mahasiswa yang dipukuli saat kerusuhan demonstrasi, dari aktivis yang ditangkap dan disiksa, dari rakyat yang dikorbankan atas nama spirit stabilitas politik demi kepentingan investasi dan ekonomi. Doa kaum marginal memang punya kasta tinggi diurutan pemenuhan.

Peristiwa ini juga melengkapi risalah kesialan penguasa yang kehilangan kekuasaan saat "pergi berlibur." Soeharto menambah ensiklopedi daftar panjang siapa saja yang kehilangan kursi saat pulang liburan.

Sebagaimana lazimnya kudeta yang identik dengan pertumpahan darah, para pemimpin negara yang lengser saat liburan setidaknya dapat melewati masa "pensiun paksa" dengan lebih tenang. Tidak ada insiden bersenjata, drama penculikan atau tragedi penyiksaan. Meski begitu, mereka tetap merasakan perasaan yang amat sakit. Sangat sakit sekali. Sakit, tapi tidak berdarah.

Iqbal Ahmady M Daud, Pengajar di Ilmu Politik FISIP Unsyiah, Penyuka Kopi Sanger Solong Ulee Kareng

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda