Beranda / Berita / Pojok Iqbal / Tragedi Pluto(krasi)

Tragedi Pluto(krasi)

Senin, 19 April 2021 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Joseph Keppler's cartoon, 'The Bosses of the Senate.' It was first published in Puck 1889 and replublished by the J. Ottermann Lith. Co


Clyde William Tombaugh mungkin layak untuk berteriak lantang, "generasi tua beristirahat dalam tradisi, generasi muda berlari capai inovasi." Bagaimana tidak, Tombaugh menemukan "Planet Terakhir", Pluto pada tanggal 18 Februari 1930, sebulan lebih setelah ulang tahunnya yang ke 24 tahun. Ia saat itu belum memperoleh gelar sarjana, baru setelah penemuan tersebut ia mendapatkan gelar sarjana astronomi dari Universitas Kansas dan Universitas Arizona Utara.

Bahkan penamaan planet baru itu, berasal dari pelajar dengan minat mitologi klasik berusia 11 tahun asal Oxford, Inggris, bernama Venetia Burney (1918-2009). Pluto merujuk pada nama Dewa Bawah Tanah Romawi yang dapat membuat dirinya sendiri tidak terlihat.

Setelah ditemukan, beringsut Pluto sang planet bungsu menjadi kesayangan tidak hanya dalam bidang astronomi, seluruh dunia menyukai. Pada tahun yang sama Walt Disney memperkenalkan anjing bernama Pluto sebagai pedamping Mickey Mouse.

Pluto juga diadaptasikan oleh Glenn T. Seaborg tahun 1941, menjadi salah satu nama elemen kimia yaitu plutonium, bahan penyusun "Fat Man", bom atom dijatuhkan ke kota Nagasaki, Jepang pada 9 Agustus 1945, yang menewaskan 70.000 orang dan melukai 100.000 orang.

Kemudian Pluto menjadi produk ikonik pernak-pernik popular yang menghiasi buku gambar anak-anak, tempelan di mainan, gantungan kunci dan banyak ragam lainnya. Singkat kata, mendengar kata Pluto memiliki kenangan tersendiri bagi generasi saat itu.

Sampai pada petaka tiba, pada tahun 1992, para peneliti antariksa menemukan banyak benda angkasa berserakan namun tetap pada orbit di wilayah yang sama dengan Pluto. Dunia menemukan kenyataan bahwa Pluto hanya merupakan bagian dari populasi objek angkasa bernama sabuk Kuiper. Eksistensi Pluto sebagai planet digugat!

Pluto menerima hukuman moril dan sanksi sosial. Beberapa museum dan planetarium memenggal Pluto dari model planet-planet Tata Surya koleksi mereka. Penelitian yang dipublis ilmuwan terkemuka, berisi penyangkalan status planet bagi Pluto. Hingga buku bergambar milik anak-anak pun mengalami revisian, tanpa ada Pluto didalamnya.

International Astronomical Union (IAU) sebagai perhimpunan astronomi dunia, mengakiri perdebatan dengan menyatakan definisi "planet" dalam Resolusi IAU pada Agustus 2006. Pluto tidak memenuhi satu variabel dari tiga syarat utama agar suatu objek dapat dikategorikan sebagai "planet." Pluto tersingkir dalam perdebatan ilmiah kontemporer, setelah berjaya tiga per empat abad.

Jika dalam kajian astronomi modern Pluto menghilang selamanya dalam jajaran konstelasi tata surya, namun Plutokrasi kembali muncul dalam konstelasi politik era kekinian. Plutokrasi mengganas bagaikan wabah penyakit yang mengerogoti demokrasi didunia, tidak luput juga menyerang negara kita tempati.

Sebenarnya Plutokrasi disusun dari kata ploutos (kekayaan) dan kratos (kekuasaan), kata-kata ini berasal dari peradaban Yunani Kuno. Lebih kurang, plutokrasi bermakna 'sistem' kekuasaan yang dikendalikan segelintir orang kaya. Plutokrasi semacam ejekan satir bagi kaum kaya yang membeli kuasa.

Sebelum demokrasi hadir, gejala plutokrasi kerap mengisi ruang kekuasaan. Mengintervensi hingga mengendalikan sendi gerak kebijakan. Tentu saja tujuannya telah tertebak, memperbesar pundi para hartawan sang dalang plutokrasi.Raja dan para bangsawan telah berkuasa selama ribuan tahun menumpuk kekayaan. Berkuasa dulu, lalu mengumpulkan harta yang akan digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.

Sebagai contoh, klan-klan bangkir tua di Eropa pada Abad Renaisans membeli tongkat kekuasaan terhadap negara dan agama (Kepausan) melalui harta yang keluarga mereka miliki. Di Eropa bagian barat, ada Tsar dan kaum oligark yang harga hiasan kepalanya bisa memberi makan ribuan rakyat miskin selama satu dekade.

Para industrialis Amerika tidak mau kalah, monopoli usaha mereka sukses. kemudian digunakan untuk menebus kebijakan memihak konglomerasi menambah akumulasi kekayaan. Praktek semacam ini lazim terjadi diberbagai sudut dunia, dalam berbagai bentuk modus atau bentuk yang berbeda.

Selama seratus tahun terakhir, paham demokrasi dengan menitikberatkan segala tujuan kebijakan negara sepenuhnya demi kepentingan rakyat, tidak bisa dibendung.Pemimpin-pemimpin lahir dari pemilihan, yang dipilih oleh rakyat setelah mendengar gagasan-gagasan yang diucapkan.Sebagian negara monarki berubah, menerapkan konstitusi baru. Kekuasaan feodal hanya sebagai kepala seremonial, karena ada pemimpin yang dipilih rakyat mengatur jalannya pemerintahan. Sebagian monarki yang enggan ikut, tapi mau tidak mau mereka tidak bisa semena-mena seperti dahulu.

Plutokrasi menghilang, tapi bibit-bibitnya masih disimpan. Siapa tahu nanti kondisinya akan memungkinkan untuk disemai dimasa depan. Tidak perlu waktu yang panjang, gejala plutokrasi kembali muncul dihadapan. Chrystia Freeland, penulis bukuPlutocrats: The Rise of the New Global Super-Rich and the Fall of Everyone Else, dalam orasi ilmiahnya meyatakan bahwa “…kita hidup di era plutokrasi global, tapi kita lamban menyadarinya.”

Freeland paham bagaimana tren pemimpin atau pengelola kekuasan saat ini mulai di isi oleh orang-orang dengan modal kapital yang sangat besar. Orang-orang ini secara langsung atau tidak langsung mendapatkan legitimasi dan otoritas dari pengaruh kekayaannya. Gejala ini menjangkiti banyak negara di dunia.

Amerika Serikat, penyakit plutokrasi kembali menguat. Robert Reich, Menteri Tenaga kerja di kabinet Clinton pada tahun 2005 membuat komparasi antara dua personal yang dianggap sangat kaya, Bill Gates dan Warren Buffett ditemukan fakta miris bahwa kekayaan kedua orang ini sama dengan 40% (120 juta jiwa) kalangan bawah di AS. Kekuatan di partai dan konggres juga dipengaruhi lobi-lobi para milyarder. Terakhir, perwakilan plutokrat sendiri yang menjadi presiden. Donald Trump si pengusaha nyentrik, menjabat selama satu periode sebagai pemimpin tertinggi Amerika Serikat.

Privatisasi besar-besaran terhadap sumber daya alam di Rusia menjadikan beberapa individu menjadi super kaya, alih-alih kelompok masyarakat yang memiliki hak atas tanah yang berisi kekayaan alam tersebut. Atau distribusi hasil kepada segenap masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Sekarang, terdapat kelompok-kelompok crazy rich yang menopang kekuasaan Putin yang diuntungkan oleh akses penguasa demi menambah simpanan laba.

Di Indonesia sendiri, gejala plutokrasi kembali menguat setelah sempat padam oleh Reformasi 98’. Masa Orde Baru, Soeharto memberikan keleluasaan kepada kroni-kroninya mengembangkan monopoli usaha. Bertambah parah saat anak-anak serta keluarganya juga ikut memanfaatkan akses kekuasaan untuk kosensi ekonomi yang mereka nikmati. Teknokrat dan birokrat karir yang menjadi pengelola pemerintahan, kaum plutokrasi mengendalikan kebijakan dibalik layar.

Reformasi 98’ sempat menempatkan akademisi dan aktivis dalam daftar pengelola kekuasaan. Saat dimana kebijakan dibahas menurut pertentangan teoritis serta perdebatan output dari aplikasi konsep yang ada dalam kepala mereka. Tapi kondisi itu tidak lama, plutokrat tidak sabar untuk comeback ke lingkaran kekuasaan.Menguatnya plutokrasi di Indonesia ditandai dengan menangnya kepala daerah dan anggota parlemen dari kalangan pengusaha yang minim pengalaman dan kompetensi politik pemerintahan.

Tidak ada yang salah dengan pengusaha kaya raya yang terpilih dari kontestasi pemilihan umum. Yang salah ialah cara mereka memenangkan pemilihan, yang telah menjadi rahasia umum terjadi money politicgila-gilaan dalam meraih suara yang mampu mengantarkan ke kursi yang ingin dituju. Kita sama-sama tahu, politik uang di Indonesia sudah menjadi kelaziman. Tapi jarang tersedia di dalam laporan resmi penyelenggara atau pengawas pemilu, hanya ada dalam ingatan masyarakat umum yang menyaksikan langsung, atau tulisan-tulisan ilmiah di kampus saja.

Ketika kaum plutokrat berkuasa, tentu yang pertama kali diperhatikan adalah kebijakan yang menguntungkan mereka. Selemah-lemah iman, mereka akan mencegah lahirnya kebijakan yang akan mengurangi kekayaan yang mereka miliki. Sembari memperlihatkan kedermawanan mereka memberikan sedekah langsung kepada sekelompok masyarakat kelas bawah, pada akun media sosial yang mereka miliki. Memamerkan bahwa mereka adalah pejabat yang tanggap, membantu dengan mengulurkan tangan langsung kepada yang tak mampu. Melupakan tugas utama mereka akan tuntutan menciptakan kebijakan komprehensif yang berdampak lebih luas terhadap pemenuhan kesejahteraan rakyat.

Kaum plutokrat yang sedang berkuasa kini juga tanpa malu, untuk menjalin kolaborasi dengan influencer, memamerkan secara vulgar kekayaan yang mereka timbun. Tayangan tentang jumlah rumah super mewah berikut garasi dengan deretan mobil mahal dan koleksi barang harga selangit, dipaksa untuk menelan mentah-mentah informasi sampah ini melalui kerongkongan hingga ke dalam lambung netizen yang mungkin saja mereka adalah salah satu dari hampir 30 juta masyarakat miskin dengan penghasilan dibawah 15 ribu rupiah menurut BPS.

Kita dihadapkan pada argumen Freeland katakan,“Demikianlah kita hidup dipuncak ketidaksetaraan pendapatan, terutama dikalangan atas. Sekelompok penyebabnya bersifat politis: pajak yang lebih rendah, deregulasi, pelayanan finansial, privatisasi, perlindungan hukum yang lemah terhadap serikat perdagangan, semua menyumbang lebih banyak lagi pendapatan yang lari ke kalangan yang berada di paling atas.”

Slogan mahasiswa “ganyang Soeharto dan kroni-kroninya” yang terpampang di poster tuntutan saat kericuhan demo tahun 1998, menunjuk kesengsaraan rakyat akibat praktek plutokrasi dalam negara. Dua dekade lebih gerakan reformasi yang berhasil merubah banyak tatanan dasar kenegaraan ini menunjukkan jika plutokrasi tidak hilang, hanya beradaptasi terhadap lingkungan baru dan lahirnya pemain baru. Selaras dengan penjelasan Freeland, “Banyak faktor politis yang dapat secara luas digolongkan dalam katagori “kapitalisme kroni,” perubahan politis yang menguntungkan sekelompok orang dalam yang punya koneksi tapi tidak memberikan banyak manfaat bagi orang lain.”

Iqbal Ahmady M Daud

Pengajar di Program Studi Ilmu Politik FISIP USK, Aceh.


Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda