Sabtu, 22 November 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Akademisi USK Ajak Seniman Muda Mulai Menulis Isu Sosial dan Humaniora

Akademisi USK Ajak Seniman Muda Mulai Menulis Isu Sosial dan Humaniora

Sabtu, 22 November 2025 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Akademisi sekaligus Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala, Iqbal Ahmadi dalam workshop Metode Penelitian dan Penulisan Artikel Media yang digelar oleh Jaringan Survei Inisiatif bersama ISBI Aceh, Sabtu-Minggu, 22-23 November 2025, di Jeumpa Manheim Hotel, Banda Aceh, Provinsi Aceh. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi sekaligus Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala, Iqbal Ahmadi mengajak para seniman muda untuk mulai menulis dan terlibat dalam isu-isu sosial serta penelitian humaniora sebagai bagian dari pembangunan tradisi intelektual di Aceh.

Menurutnya, seni tidak hanya perlu diwujudkan dalam bentuk karya visual dan pertunjukan, tetapi juga harus diperkuat dengan kemampuan berpikir kritis dan dokumentasi tertulis agar memiliki kontribusi akademik dan historis yang jelas.

Iqbal menegaskan bahwa dokumentasi dan penulisan merupakan jembatan penting antara praktik seni dan publik yang lebih luas. Ia mencontohkan banyak warisan budaya Aceh, termasuk tari Saman, memiliki banyak versi namun minim kajian tertulis sehingga berpotensi kehilangan otoritas sejarah.

“Kalau kita tidak menulis tentang karya dan budaya kita sendiri, orang lain yang akan melakukannya,” ujarnya dalam workshop Metode Penelitian dan Penulisan Artikel Media yang digelar oleh Jaringan Survei Inisiatif bersama ISBI Aceh, Sabtu-Minggu, 22-23 November 2025, di Jeumpa Manheim Hotel, Banda Aceh, Provinsi Aceh.

Iqbal berharap generasi muda Aceh berani memulai langkah kecil melalui kegiatan riset, kritik seni, hingga penulisan artikel di media untuk memperkuat posisi pengetahuan lokal dalam percakapan nasional dan global.

Dalam pemaparannya, Iqbal Ahmadi menekankan bahwa kemampuan berpikir sistematis dan menulis bukan hanya kebutuhan akademik, tetapi fondasi penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang seni dan humaniora.

“Berpikir dan menulis adalah dua aktivitas yang saling menguatkan. Seni tidak bisa berdiri sendiri tanpa pengetahuan, dan pengetahuan tidak bisa tumbuh tanpa kemampuan menjelaskan dan mempertanggungjawabkannya melalui tulisan,” ujar Iqbal.

Menurutnya, sebagian besar teori seni yang dipakai di Indonesia masih berakar dari paradigma Barat. Karena itu, penelitian ilmiah berbasis lokal sangat diperlukan.

“Melalui penelitian dan penulisan, seniman Indonesia memiliki otoritas untuk mendokumentasikan, menganalisis, dan bahkan menciptakan teori berdasarkan praktik dan kearifan lokal. Ini merupakan proses dekolonisasi pengetahuan,” jelasnya.

Iqbal mencontohkan tarian tradisional Saman, warisan budaya dunia asal Gayo, yang memiliki banyak versi dan kekayaan makna.

“Saman itu ada banyak versi, tetapi sangat sedikit yang menuliskannya. Karena itu, sering terjadi klaim atau perdebatan tanpa dasar akademik. Penelitian dan penulisan adalah kuncinya," ujarnya. 

Ia mengingatkan bahwa banyak pemikir dunia menjadi berpengaruh karena dokumentasi yang masif.

“Karl Marx menjadi besar bukan hanya karena pemikirannya, tetapi karena banyak yang menulis tentang dirinya. Begitu juga tokoh-tokoh sejarah lainnya,” katanya.

Sebagai contoh keberhasilan dokumentasi, Iqbal menyebutkan nama Thomas Stamford Raffles, mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dikenal melalui karya tulisnya tentang budaya dan sejarah Nusantara.

Raffles menghidupkan kembali Masyarakat Kesenian dan Keilmuan Batavia dan menerbitkan karya etnologis yang kemudian menjadi rujukan dunia melalui Verhandelingen.

“Buku Raffles meledak secara internasional karena ia menulis, dan banyak pula yang menulis ulang karyanya. Bayangkan dampaknya jika hal serupa dilakukan oleh putra daerah sendiri,” ujar Iqbal.

Menurutnya, salah satu kendala terbesar dalam pengembangan seni dan penelitian humaniora di Aceh ialah rendahnya minat menulis. “Kita kaya tradisi, budaya, dan sejarah. Tapi miskin dokumentasi. Terlalu banyak cerita, terlalu sedikit tulisan. Ini harus berubah," ujarnya. 

Iqbal berharap workshop ini dapat memicu lahirnya tradisi intelektual baru di Aceh, khususnya di ISBI Aceh yang menjadi pusat pendidikan seni.

“Mulailah dari pengalaman berkarya, proses kreatif, kritik seni, atau penelitian sederhana. Yang penting mulai dulu. Menulis adalah latihan yang harus dibiasakan," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI