Rabu, 13 Agustus 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Anggota Perunding GAM: Dua Dekade Damai Aceh, Kita Semakin Menjauh dari MoU Helsinki

Anggota Perunding GAM: Dua Dekade Damai Aceh, Kita Semakin Menjauh dari MoU Helsinki

Selasa, 12 Agustus 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Munawar Liza Zainal, Mantan anggota tim perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perundingan di Helsinki dan mantan Wali Kota Sabang periode 2007–2012. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua dekade sudah perdamaian Aceh berjalan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005. 

Munawar Liza Zainal, Mantan anggota tim perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perundingan di Helsinki dan mantan Wali Kota Sabang periode 2007-2012 mengatakan bahwa saat ini perjalanan damai jauh dari gambaran ideal yang diharapkan.

"Pada prinsipnya kita harus bersyukur karena damai sudah sampai 20 tahun, tapi terus terang saja, menurut amatan saya, damai itu sebenarnya jauh dari harapan kita," ujarnya saat ditemui media dialeksis.com setelah diskusi publik dengan tema Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menavigasi Tantangan, Mengawal Otonomi dan Merumuskan Masa Depan di Uin Ar-raniry Banda Aceh, Selasa, 12 Agustus 2025.

Munawar menyebut, kesepakatan di Helsinki seharusnya menjadi sebuah revolusi yang membawa perubahan mendasar bagi Aceh. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. 

"Orang menganggap sekarang Aceh tidak terlalu istimewa. Padahal di dalam MoU Helsinki, ada poin-poin besar yang mestinya membuat Aceh berbeda," katanya.

Ia menilai, semakin jauh dari 2005, implementasi butir-butir perjanjian justru semakin menyimpang dari kesepakatan awal. 

"Kita semakin lari dari kesepakatan damai yang telah dibuat oleh GAM dan Pemerintah Republik Indonesia," tegasnya.

Munawar menyoroti sejumlah hal yang menurutnya menjadi bukti kesepakatan damai belum dijalankan secara penuh. Pertama, pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh yang hingga kini tak kunjung terealisasi. Kedua, perilaku dan pola pendekatan militer yang menurutnya belum berubah signifikan.

"Jumlah militer di Aceh tidak terhitung, padahal di MoU jelas diatur pembatasannya," kata Munawar.

Selain itu, ia juga menilai banyak kewenangan Aceh yang belum dijalankan dengan baik, termasuk penyaluran bantuan kepada korban konflik yang belum sempurna. 

"Itu yang paling krusial. Banyak korban yang belum mendapatkan haknya secara layak," tegasnya.

Munawar menyebut solusi dari mandeknya implementasi MoU Helsinki adalah dengan menelaah kembali isi perjanjian tersebut. 

"Orang Aceh dan pemerintah Indonesia harus kembali menelaah, meneliti MoU Helsinki itu sendiri," ujarnya.

Ia menggambarkan situasi ini dengan perumpamaan sederhana: "Kalau istilah orang dalam rimba, kita bisa tersesat. Nah, kalau kita tersesat, kita harus kembali ke titik di mana kita mulai tersesat. Dari situ, kita akan menemukan pedoman atau arah perjalanan kita," ujarnya. 

Menurutnya, MoU Helsinki bukan sekadar dokumen politik, melainkan kompas yang menentukan arah pembangunan Aceh pasca-konflik.

 "MoU Helsinki adalah titik pedoman kita untuk membangun Aceh yang berbeda dengan Aceh sebelum tahun 2005," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI