Minggu, 05 Oktober 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Aulia Rahman Desak Gubernur Tertibkan Kendaraan Non-BL, Nyak Dhien Gajah: Jangan Jadi Panggung Politik

Aulia Rahman Desak Gubernur Tertibkan Kendaraan Non-BL, Nyak Dhien Gajah: Jangan Jadi Panggung Politik

Sabtu, 04 Oktober 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Nasruddin alias Nyak Dhien Gajah. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh, Aulia Rahman, mendesak Gubernur Aceh bertindak tegas terhadap maraknya kendaraan berpelat non-BL milik warga, terutama para pejabat yang bertahun-tahun beroperasi di wilayah Aceh tanpa melakukan mutasi plat kendaraan.

Menurut Aulia, kebijakan wajib balik nama kendaraan ke pelat BL harus segera diimplementasikan karena menyangkut kepatuhan hukum dan kepentingan fiskal daerah. Ia menilai, langkah tersebut menjadi salah satu cara paling efektif untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dari sektor pajak kendaraan bermotor.

“Banyak kendaraan berlalu-lalang di Aceh, termasuk milik pejabat, yang masih terdaftar di luar daerah. Akibatnya, pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) mengalir ke provinsi lain, padahal kendaraan itu beroperasi dan menggunakan infrastruktur di Aceh,” tegas Aulia dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/9/2025).

Ia menekankan, sudah seharusnya masyarakat Aceh, terutama para pejabat publik, memberikan teladan dalam kepatuhan pajak daerah.

“Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi juga bentuk kontribusi nyata terhadap pembangunan Aceh. Kalau kita cinta daerah ini, ayo balik nama kendaraan ke pelat BL,” ujarnya.

Pernyataan Aulia Rahman itu menuai tanggapan dari Nasruddin alias Nyak Dhien Gajah, salah satu tim pemenangan Muzakir Manaf dan Fadhlullah (Mualem-Dek Fadh). Ia menilai, langkah Aulia perlu diapresiasi sejauh bertujuan memperkuat kebijakan pemerintah Aceh dalam penertiban kendaraan non-BL, namun jangan sampai disalahartikan sebagai manuver politik untuk mencari posisi aman.

“Pernyataan itu saya apresiasi kalau memang untuk memperkuat kepemimpinan Mualem dan Dek Fadh dalam urusan plat kendaraan. Tapi publik bisa saja menilai langkah itu sebagai upaya merapat ke kubu penguasa,” ujar mantan Juru Bicara Relawan Garda Muda Mualem itu dengan nada tegas.

Nyak Dhien mengingatkan bahwa Aulia sebelumnya merupakan bagian dari tim politik pasangan Bustami Hamzah - M. Fadhil Rahmi dalam kontestasi sebelumnya. Karena itu, menurutnya, setiap pernyataan publik yang berkaitan dengan arah pemerintahan perlu dipahami secara jernih agar tidak menimbulkan kesan pragmatis.

“Kalau pernyataan itu murni untuk memperkuat pemerintahan Mualem-Dek Fadh, patut diapresiasi. Tapi kalau hanya sebatas cari celah untuk masuk ke arena kekuasaan, itu patut disesalkan,” katanya.

Nyak Dhien menegaskan, dalam dinamika politik, setiap tokoh harus siap menanggung konsekuensi dari pilihan politiknya. Ia menilai, sikap elegan seorang pemimpin adalah tetap konsisten pada posisi semula, meski kalah dalam pertarungan, dengan menjalankan peran oposisi yang konstruktif dan solutif.

“Harus siap menerima konsekuensi politik. Kalau kalah, ya cukup menjadi oposisi yang memberikan kritik membangun, bukan mencari-cari cara untuk masuk kembali demi kepentingan pribadi,” ujarnya.

Isu kendaraan berpelat luar daerah di Aceh bukan hal baru. Pemerintah sebelumnya pun telah berulang kali mengimbau agar seluruh kendaraan bermotor yang beroperasi di Aceh segera dimutasi ke pelat BL. Namun hingga kini, imbauan itu belum berjalan optimal.

Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA) mencatat, banyak kendaraan dinas maupun pribadi pejabat masih menggunakan pelat luar daerah. Kondisi ini menyebabkan potensi kebocoran PAD cukup besar karena pajak dan bea balik nama mengalir ke provinsi asal kendaraan tersebut.

Program wajib mutasi pelat kendaraan ke BL pun kini kembali mengemuka di era kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah, seiring dengan komitmen mereka memperkuat kemandirian fiskal Aceh.

Desakan agar pejabat menertibkan pelat non-BL dinilai wajar oleh banyak kalangan. Selain berdampak langsung pada peningkatan pendapatan daerah, kebijakan ini juga menjadi ukuran keteladanan pejabat publik terhadap aturan yang mereka buat sendiri.

Namun di sisi lain, seperti disampaikan oleh Nyak Dhien Gajah, publik juga menuntut agar isu strategis semacam ini tidak dijadikan alat pencitraan atau kendaraan politik bagi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan personal.

Dalam konteks Aceh hari ini, isu pelat BL bukan sekadar persoalan teknis, tapi juga ujian moral bagi para pemimpin dan elitnya, apakah mereka benar-benar siap menjadi contoh dalam membangun kepatuhan dan loyalitas terhadap daerah yang mereka pimpin. [red]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI