DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Annas Maulana, menilai kebijakan Pemerintah Aceh dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 200.2/1020/2025 belum sepenuhnya mencerminkan keberpihakan kepada rakyat.
“Lagi dan lagi, pemerintah Aceh kurang tepat dalam mengambil kebijakan. Seharusnya APBA itu dititikfokuskan penggunaannya untuk kesejahteraan Aceh, terfokus ke masyarakat kita yang masih banyak berada di golongan miskin,” ujar Annas, saat dimintai tanggapan media dialeksis.com, Senin (15/9/2025).
Sebagaimana diketahui, Gubernur Aceh telah menetapkan keputusan tentang alokasi hibah berupa bantuan keuangan kepada partai politik nasional dan partai politik lokal tingkat Provinsi Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk tahun anggaran 2025.
Dalam kebijakan tersebut, nilai bantuan keuangan untuk partai politik mengalami lonjakan signifikan. Jika sebelumnya hanya Rp2.000 per suara, tahun ini naik menjadi Rp10.000 per suara. Artinya, terjadi peningkatan hingga 400 persen.
Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik yang terakhir diubah melalui PP Nomor 1 Tahun 2018.
Berdasarkan keputusan tersebut, jumlah keseluruhan bantuan keuangan untuk partai politik di tingkat Provinsi Aceh pada tahun 2025 mencapai Rp29,34 miliar. Dana ini dibagi kepada 13 partai politik yang memiliki total 81 kursi di DPRA dengan akumulasi suara sebanyak 2,93 juta suara.
Annas menegaskan, meski dana untuk partai politik memang diperlukan untuk pendidikan politik dan kaderisasi, penambahan jumlahnya tidak memiliki urgensi yang jelas.
“Dana untuk parpol memang diperlukan, tapi urgensinya apa ditambah segitu besarnya? Mengingat dengan dana sebelumnya saja sudah cukup. Jangan sampai ditambah hanya untuk permainan elit Aceh, karena ini sudah menjadi rahasia umum bahwa politik tidak bisa dipisahkan dari uang,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan, dengan jumlah dana sebesar itu, tidak ada jaminan korupsi bisa dihindari. Oleh sebab itu, menurut Annas, mekanisme pengawasan harus benar-benar ketat, transparan, dan melibatkan berbagai unsur masyarakat.
“Ini harus diawasi dengan cermat dan transparan. Harus melibatkan elemen masyarakat melalui BPK, LSM, jurnalis, akademisi, dan organisasi kemasyarakatan sebagai bentuk audit sosial. Bahkan, perlu dipikirkan pembentukan lembaga independen yang khusus mengawasi penggunaan dana hibah ini,” tambahnya.
Lebih jauh, Annas mengingatkan agar kebijakan ini tidak mengurangi alokasi anggaran untuk kebutuhan dasar masyarakat Aceh.
“Jangan sampai karena penambahan dana ke parpol malah mengurangi dana yang untuk rakyat. Kami meminta Pemerintah Aceh memfokuskan APBA pada pelayanan dasar masyarakat Aceh, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi penuh dari pemerintah terkait penggunaan APBA. Menurutnya, hal ini bukan hanya kewajiban moral, melainkan bentuk nyata pengamalan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
“Pemerintah Aceh harus terus memberikan transparansi kepada masyarakat tentang penggunaan APBA. Itu bagian dari tata kelola yang baik dan akuntabel,” tutup Annas.