DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur dan Pendiri Aceh Governance Lab, Chaidir Ali, S.I.P., M.I.P., C.NF mengatakan dua dekade setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) pada 15 Agustus 2005, Aceh menunjukkan kemajuan bahwa kemiskinan berkurang dan ekonomi tumbuh. Namun masih tersisa luka yang belum sembuh dan janji yang belum ditepati.
"Peringatan 20 tahun damai Aceh seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi arah kebijakan. Damai adalah pekerjaan rumah harian yang harus kita selesaikan setiap hari,” ujarnya kepada media dialeksis.com, Rabu (13/8/2025).
Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat, angka kemiskinan turun menjadi 12,33% per Maret 2025, atau berkurang sekitar 14,3 ribu jiwa dibanding September 2024 yang berada di 12,64%. Secara historis, kemiskinan Aceh telah menyusut lebih dari separuh dibanding tahun 2005 yang menyentuh 28,69%.
Pertumbuhan ekonomi pun bergerak positif. Triwulan I 2025 mencatat pertumbuhan 4,59% (year-on-year), dan Triwulan II 2025 menguat menjadi 4,82%.
“Secara makro ini kemajuan besar, tapi kalau kita turun ke pedalaman, masih banyak desa yang belum punya akses layak ke jalan, listrik, atau layanan kesehatan. Artinya, pertumbuhan belum adil dan belum dirasakan semua orang,” kata Chaidir.
Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang selama ini menopang pembangunan Aceh akan berakhir pada 2027. Tanpa strategi transisi yang matang, Chaidir memperingatkan risiko krisis fiskal.
“Ketergantungan pada Otsus itu tinggi sekali. Kalau tidak ada roadmap pasca-Otsus yang jelas, kita akan terguncang. Ini harus melibatkan publik, akademisi, dan masyarakat sipil, bukan sekadar disusun di balik meja birokrasi,” tegasnya.
Chaidir juga menyoroti lambannya agenda pemulihan korban konflik. Menurutnya, hak reparasi, keadilan transisional, dan pengakuan atas penderitaan korban masih banyak yang tertunda.
“Kita bicara 20 tahun, tapi sebagian korban bahkan belum pernah mendapat pengakuan resmi, apalagi kompensasi yang layak,” ungkapnya.
Salah satu poin MoU Helsinki yang belum tuntas adalah soal bendera dan lambang daerah. Qanun Nomor 3 Tahun 2013 mengatur hal ini, namun hingga kini masih terjebak dalam perdebatan panjang antara pemerintah pusat dan daerah.
“Bagi Aceh, bendera itu simbol sejarah dan identitas, bukan untuk memisahkan diri. Justru penyelesaiannya akan memperkuat rasa memiliki rakyat terhadap perdamaian,” kata Chaidir.
Chaidir merinci beberapa langkah prioritas dengan menyusun roadmap pasca-Otsus yang partisipatif. Menjadikan program reparasi korban konflik sebagai prioritas APBA.
Selain itu, mendorong transparansi penuh pada data kemiskinan, pengangguran, dan penggunaan dana publik. Memperluas partisipasi warga dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan. Menuntaskan polemik simbol daerah melalui dialog konstruktif antara pusat dan daerah.
“Dua puluh tahun seharusnya cukup untuk menutup luka lama, tapi damai Aceh akan tetap rapuh jika ketidakadilan dibiarkan tumbuh. Damai itu bukan sekadar warisan sejarah, tapi hak generasi masa depan,” pungkas Chaidir Ali.