DIALEKSIS.COM | Bandung - Gaya hidup mewah para hakim yang kontras dengan gajinya telah menjadi ancaman serius bagi kredibilitas peradilan Indonesia. Peringatan keras ini disampaikan Dr. Firdaus Arifin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan dan Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat, dalam analisis tajamnya yang dimuat Kompas pekan lalu berjudul "Hedonisme di Balik Palu".
Dalam tulisannya, Firdaus membongkar paradoks di balik simbol palu hakim: "Di balik palu yang diketuk hakim dalam ruang sidang, sesungguhnya bukan hanya ada putusan hukum. Di sana terletak simbol kekuasaan negara, kredibilitas sistem peradilan, dan seharusnya cerminan etika publik". Namun menurutnya, simbol itu kini menjadi tanda kemunafikan ketika penegak hukum larut dalam gaya hidup hedonis yang mencolok.
Firdaus mengutip pernyataan getir Ketua MA Sunarto yang mempertanyakan moral hakim,"hakim dengan gaji Rp 23 juta, tapi memakai jam tangan Rp 1 miliar, sepatu Bally, dan mengendarai mobil Porsche. Kok enggak malu?". Kritik ini, menurut Firdaus, mencerminkan kegelisahan moral di puncak yudikatif.
"Ketika seorang hakim memakai arloji seharga satu unit rumah, publik akan bertanya: dari mana uangnya? Pertanyaan itu rasional. Bahkan wajib," tegas Firdaus dalam tulisannya. "Di titik inilah hukum berjumpa dengan etika. Tanpa etika, hukum akan kehilangan otoritas moralnya."
Firdaus menegaskan bahwa hakim tidak boleh berdalih bahwa gaya hidup adalah urusan pribadi: "Dalam sistem hukum, kepercayaan adalah mata uang utama. Dan kepercayaan tidak tumbuh dari teks, tetapi dari laku hidup". Ia mengingatkan bahwa etika profesi hukum mengikat hingga ke kehidupan sehari-hari.
Meski mengapresiasi Surat Edaran MA Nomor 4 Tahun 2025 tentang pola hidup sederhana, Firdaus mengingatkan: "Surat edaran bukanlah panacea. Ia hanya akan menjadi dokumen administratif tanpa keteladanan dari pimpinan". Menurutnya, pemulihan martabat peradilan harus dimulai dari pemegang "palu tertinggi".
Firdaus menekankan pentingnya menghidupkan kembali rasa malu: "Bagi penegak hukum, rasa malu adalah benteng terakhir moralitas. Rasa malu untuk mengambil yang bukan haknya. Rasa malu untuk tampil berlebihan". Dirinya memperingatkan bahwa hilangnya rasa malu mengubah hakim dari pelayan keadilan menjadi administrator kekuasaan belaka.
Untuk memutus mata rantai hedonisme, Firdaus mengusulkan langkah konkret, audit kekayaan dan penelusuran transaksi mencurigakan, pengawasan gaya hidup termasuk aktivitas media sosial, penguatan Komisi Yudisial dalam deteksi dini penyimpangan, sistem promosi berbasis integritas bukan senioritas
Data survei yang dikutip Firdaus menunjukkan posisi MA dan pengadilan berada di bawah KPK dan TNI dalam tingkat kepercayaan publik. "Ketika putusan peradilan dicurigai karena gaya hidup hakim yang berlebihan, proses hukum kehilangan legitimasi", tegasnya. "Integritas tidak hanya soal bersih, tapi juga soal tampak bersih."
Firdaus menutup dengan peringatan keras,"tanpa reformasi menyeluruh, kita akan terus melihat paradoks: hakim yang memutus koruptor, tapi gaya hidupnya lebih mewah dari terdakwa. Hedonisme di balik palu bukanlah isu personal melainkan persoalan institusional yang membutuhkan perbaikan kolektif," pungkasnya.