DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Taufik, menjelaskan secara rinci tata cara Pengelolaan Pertambangan Rakyat di Aceh sebagai salah satu langkah pemerintah Aceh untuk menertibkan kegiatan pertambangan ilegal dan membuka ruang legal bagi masyarakat agar dapat menambang secara sah, tertib, dan berkelanjutan.
Menurutnya, pemerintah Aceh berkomitmen kuat menata sektor pertambangan agar kegiatan masyarakat tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga berjalan sesuai prinsip kaedah pertambangan yang baik.
Taufik menjelaskan, ada beberapa cara atau tahapan dalam pengelolaan pertambangan tambang rakyat, Pertama melalui penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dimana Pemerintah kabupaten/kota harus mengajukan usulan wilayah yang memiliki potensi tambang kepada Pemerintah Aceh melalui Dinas ESDM dengan mengusulkan blok wilayah dilengkapi koordinat dengan luasan paling besar 100 Ha/blok, menyebutkan komoditas logam/bahan galian yang di usahakan tentunya mendapapatkan persetujuan DPRK setempat, selanjutnya
“Kabupaten/Kota yang ingin mengembangkan tambang rakyat harus mengajukan usulan resmi ke provinsi. Kami akan mengevaluasi usulan tesebut oleh tim teknis untuk menilai kelayakan wilayah, baik dari sisi potensi sumber daya mineral yang tersedia, pemerintah Aceh juga menyiapkan beberapa dokumen diantaranya Dokumen Pengelolaan Pertambangan Rakyat, Dokumen Reklamasi dan Pasca Tambang, Dokumen Lingkungan Hidup dan penempatan jaminan reklamasi dan pasca tambang agar lingkungan terkelola dengan baik,” ujar Taufik ketika dihubungi Dialeksis, Minggu (9/11/2025).
Tim teknis kemudian akan melakukan tinjauan lapangan untuk memastikan wilayah yang diusulkan tidak tumpang tindih dengan izin perusahaan tambang lain (IUP/IUPK) dan bukan bagian dari kawasan lindung, hutan konservasi, hutan produksi atau permukiman penduduk.
Beberapa daerah yang telah mengajukan penetapan WPR antara lain Aceh Barat, Aceh Jaya, Pidie, Gayo Lues, dan Aceh Tengah namun ada beberapa daerah tersebut yg perlu perbaikan usulannya.
Setelah wilayah dinyatakan layak dan ditetapkan sebagai WPR oleh Pemerintah Aceh tentunya setelah nemenuhi semua persyaratan ternasuk penyiapan dokumen yg di butuhkan. masyarakat yang ingin melakukan penambangan diwajibkan membentuk koperasi setempat atau badan hukum lokal (UMKM) dan Perseorangan sebagai pengelola resmi Pertambangan Rakyat melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Cara Kedua pengelolaan dapat dilakukan langsung atau mendapatkan prioritas tanpa WPR/IPR yaitu melalui permohonan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) bagi
Koperasi setempat, badan Usaha UMKM dan Ormas Keagamaan yang memiliki struktur organisasi, rencana kerja, serta mekanisme pengelolaan tambang yang baik sesuai peraturan dan ketentuan yg berlaku. Pemerintah daerah akan mendampingi proses ini agar memenuhi semua ketentuan administratif dan teknis.
"Untuk Izin Pertambangan Rakyat diberikan maksimal 10 Ha per Koperasi dengan jangka waktu 10 Tahun dan 5 Ha untuk Badan UMKM/Perseorangan dengan masa berlaku masing masing 5 tahun dan bisa diperpanjang jika memenuhi kewajiban,” jelas Taufik.
Ia menegaskan, masyarakat akan dipermudah dalam proses perizinan sesuai standar dan prosedur asalkan semua persyaratan dasar terpenuhi. Pemerintah justru ingin membantu agar penambangan rakyat bisa berjalan legal, aman, dan produktif.
Dinas ESDM Aceh juga menyiapkan sistem pengawasan terpadu bersama instansi terkait, seperti DLHK, Kepolisian, dan Kejaksaan, untuk memastikan kegiatan tambang rakyat berjalan sesuai aturan.
“Kita tidak ingin tambang rakyat menjadi pintu masuk bagi aktivitas ilegal atau perusakan lingkungan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengawasan akan terus dilakukan,” kata Taufik.
Bagi masyarakat yang masih menambang tanpa izin, pemerintah memberi kesempatan untuk bergabung dalam mekanisme legalisasi pertambangan melalui melalui mekanisne yg ada. Namun, bagi yang tetap membandel, penegakan hukum akan diberlakukan sesuai ketentuan.
Taufik menyebutkan, tujuan utama kebijakan ini adalah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi rakyat dan kelestarian lingkungan. Melalui legalisasi pertambangan, masyarakat memperoleh lapangan kerja dan pendapatan, sementara pemerintah dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Dengan sistem pertambangan yang tertib dan legal, kita ingin masyarakat sejahtera, daerah mendapatkan manfaat fiskal, dan alam tetap terjaga. Inilah semangat pembangunan berkelanjutan yang ingin kita wujudkan di Aceh,” tutupnya.
Untuk memperkuat dasar hukumnya, Pemerintah Aceh saat ini sedang menyiapkan Peraturan Gubernur (Pergub), Keputusan Gubernur (Kepgub) tentang Pengelolaan Pertambangan bagi Masyarakat yg menekuni tambang. Pergub ini akan mengatur mekanisme penetapan WPR, Pemberian WIUP Prioritas tata cara pengajuannya, serta pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan pertambangan yang baik.
Dinas ESDM Aceh menargetkan regulasi tersebut dapat terselesaikan agar masyarakat dapat segera memanfaatkan jalur legal dalam melakukan kegiatan pertambangan.