Minggu, 05 Oktober 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Krisis Listrik di Aceh, Pemuda Muhammadiyah Dorong Transisi ke Energi Bersih

Krisis Listrik di Aceh, Pemuda Muhammadiyah Dorong Transisi ke Energi Bersih

Sabtu, 04 Oktober 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh, Andika Ichsan. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemadaman listrik yang melanda Aceh selama tiga hari terakhir akibat gangguan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya.

Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh, Andika Ichsan, menilai kejadian ini sebagai bukti nyata bahwa ketergantungan Aceh terhadap energi fosil sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

Menurut Andika, krisis listrik yang terjadi berulang kali setiap tahun membuktikan bahwa sistem energi berbasis batubara tidak hanya rapuh, tetapi juga menyimpan risiko besar bagi lingkungan dan masyarakat.

“Yang harus diperjelas adalah, PLTU harus pensiun dini. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada energi kotor,” tegas Andika Ichsan saat dihubungi Dialeksis.com, Sabtu (4/10).

“Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas mengganti dengan energi terbarukan yang berbasis masyarakat,” tambahnya.

Andika menilai, Pemerintah Aceh seharusnya tidak lagi menjadikan PLTU sebagai tumpuan utama pasokan listrik daerah. 

Menurutnya, arah kebijakan energi harus segera diubah dengan memensiunkan dini PLTU dan beralih ke energi terbarukan yang memanfaatkan potensi lokal.

“PLTU sudah terbukti rapuh dan tidak berkelanjutan. Saatnya Aceh serius mengembangkan energi terbarukan yang membuahkan manfaat langsung bagi masyarakat adat,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Aceh memiliki potensi energi hijau yang melimpah, mulai dari tenaga mikrohidro di pedalaman, energi angin di pesisir barat-selatan, hingga tenaga surya di wilayah pegunungan dan perkotaan.

“Kalau potensi ini dikelola dengan serius dan berbasis masyarakat lokal, Aceh bisa menjadi provinsi pertama di Sumatera yang benar-benar mandiri energi bersih,” kata Andika.

Selain menyoroti pemerintah, Andika juga melontarkan kritik tajam kepada PT PLN (Persero). Ia menilai, PLN tidak bisa hanya bersembunyi di balik permintaan maaf setiap kali terjadi pemadaman massal.

“Masyarakat sudah cukup sabar. Setiap listrik padam, jawabannya cuma ‘maaf atas ketidaknyamanannya’. Tapi kompensasi nyata tidak pernah diberikan,” ujarnya.

Andika menegaskan bahwa pelanggan listrik berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2017 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang Terkait dengan Penyaluran Tenaga Listrik. 

Dalam aturan itu disebutkan, pelanggan berhak menerima kompensasi apabila terjadi gangguan layanan yang melewati batas waktu toleransi.

“Besarannya bisa antara 20 persen hingga 35 persen dari biaya beban atau rekening minimum, bahkan mencapai 500 persen kalau pemadaman lebih dari 40 jam di atas TMP (Tingkat Mutu Pelayanan),” terang Andika.

Ia meminta PLN segera menghitung dan membayarkan kompensasi kepada pelanggan di seluruh Aceh yang terdampak padam listrik selama tiga hari berturut-turut.

“Kalau PLN serius menghormati hak pelanggan, jangan cuma minta maaf di media. Buktikan dengan memberi kompensasi yang layak,” tegasnya.

Lebih lanjut, Andika juga menyoroti sistem interkoneksi listrik Sumatera yang menurutnya tidak adil bagi Aceh. Meskipun Aceh memiliki dua pembangkit besar PLTU Nagan Raya dan PLTA Peusangan, aliran listrik dari Aceh justru lebih dulu ditarik ke Sumatera Utara sebelum kembali dialirkan ke Aceh.

“Ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Aceh punya pembangkit, tapi kenapa masih gelap-gelapan?” ucapnya.


Ia bahkan menyindir adanya dugaan kepentingan di balik pemadaman yang terjadi. “Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat yang merasa dianaktirikan. Apakah pemadaman ini ditunggangi pihak kuat sebagai balasan telak atas polemik minggu kemarin?” sindir Andika.

Andika menekankan bahwa momentum krisis listrik kali ini harus dijadikan titik balik bagi Aceh untuk menata ulang kebijakan energi daerah.

Ia berharap Pemerintah Aceh bersama DPR Aceh dan PLN dapat membentuk peta jalan transisi energi yang berpihak kepada masyarakat dan lingkungan.

“Sudah saatnya kita keluar dari jebakan energi kotor. Aceh punya potensi besar untuk memimpin transisi energi bersih di Sumatera. Krisis ini seharusnya membuka mata semua pihak: bahwa ketergantungan pada batubara bukan solusi, melainkan sumber masalah,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI