DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menggencarkan rencana penerapan bahan bakar campuran etanol 10% atau E10.
Kebijakan ini diklaim sebagai bagian dari upaya menuju kemandirian energi nasional dan pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Universitas Syiah Kuala (USK), Rahmat Hidayat, mengatakan bahwa setiap kebijakan strategis pemerintah, apalagi yang menyangkut energi, harus benar-benar berpijak pada kepentingan rakyat.
“Pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, perlu memastikan apakah penerapan etanol 10% ini sesuai dengan karakteristik seluruh jenis kendaraan yang beredar di Indonesia,” ujar Rahmat kepada media dialeksis.com, Jumat (7/11/2025).
Menurutnya, kebijakan energi tidak bisa hanya dilihat dari sisi efisiensi dan keberlanjutan lingkungan semata, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat.
Terlebih, mayoritas pengguna kendaraan di Indonesia berasal dari kalangan menengah ke bawah yang sangat sensitif terhadap perubahan harga dan performa bahan bakar.
Rahmat mengakui bahwa penggunaan etanol 10% memiliki potensi positif bagi negeri ini. Selain dapat mengurangi emisi gas buang dan memperbaiki kualitas udara, kebijakan ini juga dapat menekan ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak, sekaligus membuka peluang ekonomi baru di sektor pertanian dan energi terbarukan.
“Bila dikelola dengan baik, pengembangan industri etanol bisa menjadi sumber lapangan kerja baru bagi masyarakat, terutama di daerah penghasil singkong dan tebu,” ujarnya.
Ia menilai, kebijakan ini juga dapat menghidupkan kembali potensi daerah dan memperkuat rantai pasok nasional jika pemerintah melibatkan petani lokal sebagai pemasok bahan baku utama etanol.
Meski mendukung langkah pemerintah menuju energi hijau, Rahmat tetap mengingatkan adanya sejumlah tantangan yang harus dikaji secara mendalam sebelum kebijakan ini diterapkan secara luas.
Menurutnya, penggunaan etanol dalam bahan bakar berpotensi memengaruhi performa mesin kendaraan, terutama kendaraan lama yang belum dirancang untuk bahan bakar campuran.
“Penerapan kebijakan ini dapat menyebabkan penurunan jarak tempuh kendaraan. Ini hal teknis yang tidak bisa diabaikan, sebab akan berdampak langsung pada biaya operasional masyarakat,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan perlunya uji coba nasional yang transparan, agar masyarakat mengetahui secara pasti manfaat dan risiko penggunaan bahan bakar jenis baru ini.
"Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus benar-benar sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar untuk memenuhi target atau tren global," pungkasnya.