Selasa, 06 Mei 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Penyebab Utama Penurunan Suara PKS Aceh pada Pemilu 2024

Penyebab Utama Penurunan Suara PKS Aceh pada Pemilu 2024

Selasa, 06 Mei 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Firdaus Mirza Nusuary, dosen FISIP Universitas Syiah Kuala. Foto: Doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pada Pemilu 2024 yang baru saja berlangsung, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Aceh mengalami penurunan signifikan dalam perolehan kursi legislatif. Dari sebelumnya meraih 6 kursi pada Pemilu 2019, partai ini hanya memperoleh 4 kursi di Pemilu 2024. Fenomena ini mendorong Dialeksis untuk menggali faktor-faktor penyebab penurunan elektabilitas PKS di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Untuk mengonfirmasi temuan tersebut, Dialeksis berbincang dengan Firdaus Mirza Nusuary, dosen FISIP Universitas Syiah Kuala, yang menyoroti tiga penyebab utama: praktik politik uang yang masif, ketimpangan kemampuan logistik, dan lemahnya pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Aceh. Analisis ini disampaikan dalam wawancara eksklusif pada Selasa (6/5/2025), sebagai refleksi kritis atas dinamika Pemilu legislatif di Aceh.

Firdaus, yang akrab disapa Ados, menjelaskan bahwa praktik politik uang dan bagi-bagi barang secara agresif oleh partai lain menciptakan persaingan tidak sehat. 

"PKS, yang dikenal dengan simbol bulan sabit dan padi berwarna oranye, turut terdampak. Masyarakat mulai menganggap politik transaksional sebagai 'standar baru', sehingga partai yang berpegang pada etika justru kehilangan daya tarik," ujarnya. 

Menurutnya, hal ini menggerus prinsip demokrasi substantif dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses elektoral.

Selain faktor eksternal, Firdaus menilai kelemahan internal PKS Aceh terletak pada kapasitas logistik yang tidak memadai. 

"Para kader PKS lebih mengandalkan pendekatan ideologis dan programatik, tetapi minim infrastruktur pendukung seperti mobilisasi massa atau akses ke daerah terpencil. Sementara partai lain membanjiri pemilih dengan bantuan material dan kampanye besar-besaran," paparnya. Kondisi ini semakin memperlebar gap elektabilitas di lapangan.

Firdaus juga mengkritik peran Bawaslu Aceh yang dinilai kurang proaktif. "Pelanggaran seperti politik uang seharusnya bisa dicegah jika pengawasan lebih ketat. Sayangnya, pengawasan cenderung reaktif dan tidak menyentuh akar masalah, seperti aliran dana ilegal atau intimidasi terselubung," tegasnya. 

Ia mendorong reformasi sistem pengawasan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan teknologi untuk meningkatkan transparansi.

Faktor lain yang turut berpengaruh adalah pergeseran preferensi pemilih Aceh ke arah pragmatisme. 

"Generasi muda dan pemilih pemula lebih mudah terpengaruh iming-iming instan ketimbang narasi perubahan struktural," tambahnya.

Sebagai solusi, Firdaus menyarankan PKS Aceh memperkuat manajemen logistik dengan membangun jaringan kader yang solid dan memanfaatkan platform digital untuk kampanye. "PKS perlu menggabungkan pendekatan ideologis dengan inovasi teknis, seperti analisis data pemilih atau konten kreatif di media sosial," jelasnya.

Penurunan suara PKS Aceh ini, menurut Firdaus, harus menjadi refleksi bersama. "Demokrasi tidak boleh dikorbankan demi ambisi kekuasaan jangka pendek. Diperlukan sinergi antara partai, penyelenggara pemilu, dan masyarakat untuk menjamin pemilu berintegritas di masa depan," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
penghargaan mualem
diskes
hardiknas