Sabtu, 12 Juli 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Polda Panggil Pokja Usut Dugaan Korupsi Proyek Otsus, Ketua DPRA Protes, Aktivis Kritik Balik

Polda Panggil Pokja Usut Dugaan Korupsi Proyek Otsus, Ketua DPRA Protes, Aktivis Kritik Balik

Sabtu, 12 Juli 2025 07:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi pengerjaan proyek jalan. Foto: Net


DIALEKSIS.COM | Aceh - Penyelidikan dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, mulai menyeret sejumlah nama dari lingkaran birokrasi Aceh. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh resmi memanggil Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan di Biro Pengadaan Barang dan Jasa Setda Aceh, untuk dimintai klarifikasi terkait proyek yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Otsus) tahun anggaran 2023.

Pemanggilan itu tertuang dalam surat resmi bernomor B/235/VIIRES.3.5/2025/Ditreskrimsus, tertanggal 8 Juli 2025, dan ditandatangani langsung oleh Direktur Reskrimsus, Kombes Pol Zulhir Destrian. 

Dalam surat itu dijelaskan, penyidik Subdit III Tindak Pidana Korupsi tengah mengusut proyek pembangunan lanjutan di Gampong Geulumpang Samlakoe, Gampong Matang Cut, dan Gampong Pucok Alue, Kecamatan Baktiya, Aceh Utara.

Proyek dengan nilai mencapai Rp728 juta itu dikelola oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Aceh. Penyidik menduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang berpotensi melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Sebagai bagian dari penyelidikan, penyidik memanggil Ali Kausar, anggota Pokja Pemilihan yang bertanggung jawab dalam proses pemilihan penyedia jasa. Pemeriksaan dijadwalkan pada Kamis, 10 Juli 2025.

Langkah hukum ini merupakan bagian dari komitmen Polda Aceh untuk mengungkap indikasi penyimpangan penggunaan dana publik, khususnya dana Otsus yang semestinya digunakan untuk percepatan pembangunan di daerah tertinggal.

Pemanggilan terhadap Pokja ini langsung menuai tanggapan dari Ketua DPR Aceh, Zulfadhli. Ia menyatakan akan menyurati Direktur Reskrimsus Polda Aceh guna meminta penjelasan lebih lanjut. 

“Iya, tadi saya baca beritanya. Ini Pokja dipanggil Polda, ada apa ini?” ujar Zulfadhli kepada wartawan, Jumat (11/7/2025) di Banda Aceh.

Zulfadhli menyebutkan, surat resmi akan dilayangkan kepada Ditreskrimsus pada Senin, 14 Juli 2025. Ia juga menyatakan akan menyurati Kepala Biro PBJ serta Pokja-Pokja lainnya untuk mendapatkan penjelasan menyeluruh.

“Kami ingin mengklarifikasi persoalan ini agar terang benderang. Kita ingin tahu, apakah ini betul-betul penegakan hukum, atau modus baru ‘barter proyek’ yang berkedok hukum,” katanya.

Menurut Zulfadhli, tindakan Polda Aceh memanggil Pokja berpotensi mengganggu laju pembangunan. “Pemerintahan Mualem sedang serius membangun Aceh. Semua pihak seharusnya mendukung, bukan menghambat,” ujarnya.

Bahkan ia menuding, selama ini ada keluhan masyarakat terhadap oknum-oknum di Polda Aceh yang kerap mengintervensi pelaksanaan proyek. “Kami sering dapat laporan, Pokja dipanggil hanya untuk ujung-ujungnya minta ‘jatah proyek’,” katanya tanpa menyebut bukti spesifik.

Zulfadhli juga mempertanyakan mengapa Polda tidak menyentuh proyek-proyek besar seperti Multi Years Contract (MYC) yang nilainya triliunan rupiah. “Kalau serius, tangani yang besar. Jangan yang kecil-kecil terus. Ini yang mau kita klarifikasi, bahkan jika perlu sampai ke Mabes Polri,” tegasnya.

Pernyataan Zulfadhli langsung menuai kritik tajam dari aktivis perempuan Aceh, Yulindawati. Ia menyayangkan sikap Ketua DPRA yang terkesan mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan.

“Sebagai lembaga legislatif, DPRA semestinya berada di garda terdepan mendukung penegakan hukum, bukan malah seolah-olah menghalangi,” kata Yulindawati di Banda Aceh, Jumat (11/7/2025).

Menurutnya, pemanggilan aparat birokrasi oleh penegak hukum adalah bagian dari mekanisme hukum yang sah, apalagi menyangkut dana publik. 

“Kalau semuanya bersih, kenapa takut dipanggil?” tanyanya.

Ia juga menyoroti sikap selektif DPR Aceh dalam menyikapi isu-isu di daerah. “Waktu kasus Batalyon baru, Blang Padang, sampai dugaan penjualan empat pulau, Ketua DPRA diam saja. Tapi begitu Pokja dipanggil, langsung ribut. Ini menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat,” ungkapnya.

Yulindawati menduga ada kepentingan tertentu di balik reaksi keras Zulfadhli. “Kalau polisi kerja, jangan diganggu. Jangan sampai publik curiga Ketua DPRA menyimpan sesuatu yang tidak ingin terungkap,” katanya.

Ia menegaskan dukungannya terhadap Polda Aceh untuk tetap bekerja secara profesional. “Jangan takut tekanan politik. Masyarakat Aceh ingin hukum ditegakkan dengan adil. Kita dukung polisi membersihkan proyek-proyek dari praktik kotor,” tutupnya.

Kasus ini bukan hanya soal dugaan penyimpangan proyek desa, tapi juga memperlihatkan bagaimana tarik-menarik antara kepentingan hukum dan politik kerap mewarnai pembangunan di Aceh. Polda Aceh tampak berusaha menjalankan tugas penegakan hukum, sementara di sisi lain, DPR Aceh mengklaim sedang menjaga stabilitas pembangunan.

Pernyataan Ketua DPR Aceh yang menyebut pemanggilan Pokja bisa menghambat pembangunan, serta tudingan adanya “barter proyek” yang melibatkan oknum penegak hukum, membuka ruang perdebatan baru tentang relasi kekuasaan dan hukum di Aceh.

Publik kini menanti, apakah ada klarifikasi dari Polda Aceh terhadap pernyataan Ketua DPRA atau malahan sebaliknya terdiam karena hadirnya tekanan politik yang kuat. Sementara itu, suara-suara kritis dari masyarakat sipil seperti Yulindawati, menjadi penyeimbang penting dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor publik. Semua akan terjawab bersama waktu yang menjawab. 

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI