DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Percepatan Reformasi Polri menggelar Public Hearing di Universitas Syiah Kuala (USK), Kamis (11/12/2025), sebagai bagian dari amanat Presiden Republik Indonesia untuk mempercepat transformasi menyeluruh di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Acara yang berlangsung di Ruang Rapat Rektor itu menghadirkan tokoh nasional Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, sekaligus anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri dan Idham Azis, Kepala Kepolisian Republik Indonesis Periode 2019 s. d. 2021, selaku Anggota Komisi Percepatan Reformasi POLRI.
Pada forum yang dihadiri akademisi, tokoh masyarakat, aktivis LSM, serta perwakilan civitas akademika USK ini, berbagai masukan, kritik, dan gagasan mendalam disampaikan sebagai upaya membangun institusi Polri yang lebih profesional, modern, dan humanis.
Dalam pernyataannya kepada awak media, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa public hearing ini merupakan salah satu rangkaian utama untuk menghimpun aspirasi masyarakat mengenai struktur, kultur, hingga kualitas pelayanan Polri.
“Kita menerima begitu banyak masukan terkait struktur, kultur, hingga pendidikan Polri. Semua aspirasi itu bertujuan memperbaiki lembaga kepolisian agar menjadi lebih baik ke depan,” ujar Yusril.
Ia menjelaskan, sejumlah akademisi memaparkan alternatif struktur kelembagaan Polri, termasuk wacana pembentukan Kementerian Keamanan Nasional atau menempatkan Polri di bawah kementerian tertentu.
Namun Yusril menegaskan bahwa perubahan struktur sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden dan DPR, karena UUD 1945 mengamanatkan bahwa segala hal terkait Polri diatur dengan undang-undang.
Sementara itu, kritik paling menonjol datang dari aspek kultur. Layanan Polri terhadap masyarakat dinilai belum sepenuhnya mencerminkan karakter polisi sipil modern yang humanis.
“Banyak kritik soal kultur anggota Polri dalam memberikan pelayanan, perlindungan, dan pengayoman. Walau sudah jauh lebih baik dibanding era sebelum 1998, masih banyak ruang perbaikan,” lanjutnya.
Isu lain yang mencuat adalah tentang pendidikan kepolisian, Yusril mengatakan bahwa Akademisi Universitas Syiah Kuala menilai bahwa kurikulum pendidikan Polri masih terkesan terlalu militaristik dan belum sepenuhnya membentuk karakter polisi sipil yang dekat dengan masyarakat.
“Polisi itu sipil, tetapi dibekali senjata untuk penegakan hukum. Karena itu pendidikan Polri harus memuat keseimbangan antara disiplin, profesionalisme, dan pendekatan humanis," ujarnya.
Selain itu, terdapat kritik mengenai dugaan tindakan berlebihan saat penyelidikan dan penyidikan. Menurut Yusril, seluruh kritik tersebut ditanggapi langsung oleh Komjen (Purn) Idham Aziz, anggota komisi lainnya, yang menegaskan bahwa Polri sangat menyadari kekurangan internal dan telah melakukan koreksi melalui komisi internal reformasi Polri.
Yusril juga menyampaikan rasa duka mendalam atas musibah banjir bandang dan bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh belakangan ini. Ia mengapresiasi Rektor dan sivitas akademika Universitas Syiah Kuala yang tetap menyediakan fasilitas untuk public hearing di tengah kondisi sulit.
“Meski Aceh tengah berduka akibat bencana, tugas reformasi Polri tetap harus berjalan. Kami sangat berterima kasih kepada Rektor Unsyiah dan seluruh civitas akademika atas dukungan penuh penyelenggaraan forum ini,” ujarnya.
Public hearing serupa juga dilaksanakan secara paralel oleh anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri lainnya, termasuk Prof. Mahfud MD yang pada hari yang sama berdialog dengan akademisi dan masyarakat di Medan.
Seluruh masukan dan kritik dari peserta public hearing di Banda Aceh akan dirangkum oleh tim Pokja untuk dibawa ke rapat pleno Komisi Percepatan Reformasi Polri. Hasil akhirnya dijadwalkan diserahkan kepada Presiden pada akhir Januari 2026.
“Kami mencatat semua aspirasi, baik masukan maupun kritik tajam, untuk menjadi rekomendasi resmi komisi. Semoga ini menjadi langkah besar menuju Polri yang lebih profesional, transparan, dan dipercaya masyarakat,” pungkas Yusril. [nh]