DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) wajib menjamin keterwakilan perempuan secara proporsional dalam seluruh Alat Kelengkapan Dewan (AKD), baik dalam keanggotaan maupun pimpinan.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 169/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (30/10/2025). Sidang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi tujuh hakim konstitusi, salah satunya Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Afirmasi Gender Jadi Keharusan Konstitusional
Dalam amar putusannya, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan Pemohon I, II, dan IV, yang menilai sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan perubahan keduanya melalui UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bertentangan dengan UUD 1945.
MK menilai, pengaturan tentang susunan AKD -- seperti Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, BURT, hingga Panitia Khusus -- harus dimaknai memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap fraksi.
Lebih jauh, MK juga mewajibkan adanya kuota minimal 30 persen perempuan dalam pimpinan AKD, termasuk ketua dan wakil ketua komisi serta badan-badan di DPR.
“Pengisian keanggotaan dan pimpinan AKD harus menjamin keterwakilan perempuan secara proporsional. Ketiadaan kuota justru membuat perempuan makin terpinggirkan dalam proses politik di parlemen,” ujar Saldi Isra membacakan pertimbangan Mahkamah.
Kebijakan Afirmatif Diakui Konstitusi
Mahkamah menegaskan, kebijakan afirmatif atau affirmative action merupakan kesepakatan nasional yang dijamin konstitusi untuk mencapai keadilan substantif bagi kelompok yang selama ini terpinggirkan, termasuk perempuan.
MK merujuk pada Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang memberikan dasar konstitusional bagi perlakuan khusus guna mencapai kesetaraan. Prinsip ini juga selaras dengan komitmen Indonesia terhadap Konvensi CEDAW dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang menargetkan kesetaraan gender di seluruh bidang.
“Fakta menunjukkan masih adanya ketimpangan besar antara laki-laki dan perempuan dalam lembaga negara. Karena itu, penerapan kuota adalah langkah konstitusional untuk mencapai keadilan substantif,” kata Saldi.
Langkah Konkret untuk DPR
MK juga memberi arahan agar DPR menindaklanjuti putusan ini melalui mekanisme internal. Fraksi-fraksi diminta menugaskan anggota perempuan secara merata di berbagai AKD, tidak hanya di komisi sosial atau perlindungan anak.
Selain itu, DPR disarankan membuat aturan tegas dalam Tata Tertib agar setiap fraksi menempatkan minimal 30 persen perempuan di setiap AKD dan posisi pimpinan. Badan Musyawarah DPR juga diminta melakukan evaluasi berkala terhadap komposisi gender di seluruh alat kelengkapan.
Putusan Bersejarah untuk Politik Inklusif
Putusan ini dinilai sebagai tonggak penting dalam memperkuat politik inklusif dan kesetaraan gender di parlemen. Dengan adanya kewajiban hukum ini, keterlibatan perempuan tidak lagi bersifat simbolik, melainkan menjadi bagian dari desain kelembagaan DPR.
Putusan tersebut akan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dan mulai berlaku sejak dibacakan.
Sebagai informasi, permohonan Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 diajukan Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kalyanamitra, dan Titi Anggraini. [red]