DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan mantan Komisioner Komnas HAM RI periode 2012“2017, Otto Syamsuddin Ishak, menilai perjalanan 20 tahun perdamaian Aceh telah menyimpang dari cita-cita awal yang diperjuangkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pimpinan almarhum Hasan Tiro.
Menurutnya, momentum damai seharusnya menjadi jalan untuk mewujudkan successor state yang dirumuskan sebagai kelanjutan dari sejarah kesultanan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Sekarang ini yang berjalan bukanlah yang diinginkan Hasan Tiro. Baik dalam bentuk otonomi khusus maupun pemerintahan Aceh yang ada saat ini, belum mencerminkan arah yang pernah dirumuskan,” ujar Otto kepada media dialeksis.com, Rabu, 13 Agustus 2025 setelah mengisi materi yang diselenggarakan oleh Aceh Peace Forum (AFF)-II dengan tema Strategi Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Rakyat Aceh, serta Perdamaian Dunia.
Otto, yang juga sosiolog Universitas Syiah Kuala (USK), menyebut Aceh justru seperti kena kutukan karena mengabaikan baiat atau amanat yang pernah disampaikan Hasan Tiro.
Ia mengingatkan, perjuangan yang dulu dibangun dengan pengorbanan nyawa rakyat di basis-basis GAM tidak diimbangi dengan pembangunan yang memprioritaskan wilayah tersebut.
“Daerah basis GAM itu yang menampung, melindungi, bahkan menjadi tempat bersembunyi para pejuang. Mereka berhutang nyawa pada rakyat di sana, tapi sekarang daerahnya tidak dibangun. Ini terjadi di seluruh Aceh,” tegasnya.
Menurut Otto, cita-cita successor state yakni negara kelanjutan dari sejarah kesultanan memerlukan perumusan matang yang melibatkan orang-orang pandai, berpengalaman, dan memiliki visi. Namun, ia menilai pemerintah dan legislatif Aceh tidak menunjukkan keseriusan ke arah itu.
“Untuk merumuskan itu dibutuhkan orang-orang yang punya cita-cita, bukan hanya mencari jabatan. Tapi sekarang, itu tidak dilakukan,” ujarnya.
Otto bahkan menilai, sebagian elite politik Aceh justru mengkhianati garis perjuangan yang dulu mereka junjung.
“Kalau dulu mereka mengkritik kelompok lain sebagai pengkhianat, sekarang mereka sendiri yang mengkhianati apa yang dirumuskan Hasan Tiro,” katanya.
Dalam menggambarkan situasi GAM pasca-damai, Otto menggunakan analogi seekor cecak yang ekornya terjepit pintu.
“Ekornya putus, lalu dia lari. Tapi ekor itu tidak tumbuh lagi,” ujarnya.
Analogi itu, menurut Otto, melambangkan terputusnya hubungan emosional dan politik antara elite Aceh saat ini dengan akar masyarakat di basis-basis perjuangan. Baik kombatan maupun masyarakat sipil yang dulu dianggap bagian dari politik GAM kini merasa ditinggalkan.
Otto mengingatkan bahwa konflik Aceh berlangsung selama 30 tahun, sementara perdamaian baru berjalan 20 tahun. Artinya, masih ada waktu 10 tahun ke depan untuk membenahi arah pembangunan.
“Sepuluh tahun ke depan harus digunakan untuk membangun fondasi-fondasi bagi terbangunnya Aceh yang kuat. Ini tugas bagi pemerintahan yang ada sekarang, termasuk Partai Aceh, atau pemerintahan berikutnya,” ujarnya.
Otto menekankan, fondasi tersebut tidak sekadar infrastruktur fisik, tetapi juga tata kelola pemerintahan yang berkeadilan, pembangunan ekonomi berbasis rakyat, serta penguatan identitas Aceh dalam bingkai NKRI sesuai cita-cita awal yang pernah dirumuskan.
“Kalau fondasi ini tidak dibangun, Aceh akan terus kehilangan arah. Perdamaian yang ada hanya akan menjadi status tanpa makna yang dalam,” tutupnya.