Kamis, 07 Agustus 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Terorisme ASN di Aceh dan Celah Deradikalisasi yang Gagal

Terorisme ASN di Aceh dan Celah Deradikalisasi yang Gagal

Selasa, 05 Agustus 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Aryos Nivada, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) di Aceh yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme mengguncang kesadaran publik, sekaligus mengusik fondasi kepercayaan terhadap aparatur negara. 

Peristiwa ini menyorot bukan hanya soal keamanan, tetapi juga tentang betapa longgarnya sistem seleksi, pembinaan, dan pengawasan internal terhadap ASN di wilayah yang punya sejarah panjang dalam gerakan radikal.

Aryos Nivada, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala sekaligus pengamat politik dan keamanan, melihat kejadian ini sebagai bukti bahwa ancaman radikalisme belum usai di bumi Serambi Mekah. 

“Penangkapan ini menunjukkan bahwa ASN di Aceh masih sangat rentan terpapar pengaruh paham radikalisme, sekaligus mengindikasikan bahwa pola penggalangan personal di lingkungan pemerintahan sangat terbuka,” kata Aryos kepada Dialeksis, Selasa, 5 Agustus 2025.

Menurutnya, peristiwa ini memperkuat fakta bahwa Aceh masih dijadikan sebagai lahan subur untuk penggalangan individu agar masuk dalam lingkaran radikalisme. Ia menggarisbawahi bahwa hal ini tak terlepas dari jejak sejarah panjang Aceh yang beberapa kali terlibat dalam peristiwa kekerasan ideologis, termasuk keterkaitannya dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang belakangan punya garis korelasi dengan jaringan Negara Islam Indonesia (NII).

"Jejak sejarah ini tidak berdiri sendiri. Ia bertransformasi dan bermetamorfosis dalam wujud baru, lebih halus, lebih menyusup, dan kini menyentuh struktur birokrasi,” tambahnya.

Aryos mencemaskan bahwa indikasi kuat keterlibatan ASN dalam jaringan terorisme merupakan bukti eksistensi nyata gerakan radikalisme di Aceh saat ini. “Bukan lagi asumsi, tapi fakta. Dan fakta ini membuktikan bahwa kita sedang menghadapi musuh dari dalam,” ujarnya tajam.

Lebih lanjut, Aryos menilai perlu adanya langkah antisipatif yang berlapis di lingkungan pemerintahan. Bukan hanya sekadar memperketat pengawasan, tapi membangun sistem deteksi dini dan penegakan nilai-nilai kebangsaan secara terus-menerus. “Jangan sampai ini terkesan dibiarkan atau, lebih berbahaya lagi, disengaja oleh pihak-pihak tertentu dalam lingkaran kekuasaan,” katanya.

Ia juga mengkritisi efektivitas program deradikalisasi di Aceh yang selama ini dijalankan oleh pemerintah pusat. Menurutnya, kasus ini menegaskan bahwa program tersebut tidak berjalan secara maksimal. Bahkan, ia mendesak agar deradikalisasi dijadikan program prioritas dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan partisipatif di daerah.

“Jika pemerintah pusat masih menganggap Aceh sebagai daerah rawan dalam konteks radikalisme, maka semestinya Aceh ditempatkan sebagai wilayah prioritas utama dalam implementasi program deradikalisasi. Bukan sekadar simbolik atau proyek belaka,” tegas Aryos.

Satu hal lain yang mencemaskan dari penangkapan ini, menurutnya, adalah indikasi bergesernya motivasi keterlibatan individu dalam jaringan terorisme.

“Kita harus berhati-hati membaca fenomena ini. Jangan sampai terorisme tidak lagi didorong oleh ideologi, tapi oleh motif ekonomi. Jika benar orang bergabung karena terdesak kebutuhan dana, maka ini sudah masuk ke level darurat baru,” katanya.

Fenomena ini, kata Aryos, harus menjadi alarm keras bagi semua pihak. Negara tak cukup hanya menindak, tetapi juga harus memutus ekosistem yang menopang tumbuhnya sel-sel radikal, termasuk kemiskinan, keterbatasan akses informasi, dan kegagalan membangun narasi kebangsaan di akar rumput.

“Penangkapan dua ASN di Aceh adalah potret buram dari persoalan yang tak kunjung diselesaikan secara serius. Dan jika tak segera ada langkah korektif menyeluruh, maka jangan salahkan publik jika kemudian menganggap negara tengah abai atau lebih buruk, membiarkan hal ini terjadi,” pungkas alumni Lemhannas ini.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI