Selasa, 22 Juli 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Teuku Alfian: Ini Bukan Lalai, Tapi Cacat Integritas Penegakan Hukum

Teuku Alfian: Ini Bukan Lalai, Tapi Cacat Integritas Penegakan Hukum

Senin, 21 Juli 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Advokat dan Koordinator Tim Pembela Hukum dan Demokrasi (TPHD), Teuku Alfian. Foto: Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Advokat dan Koordinator Tim Pembela Hukum dan Demokrasi (TPHD), Teuku Alfian, yang akrab disapa Ampon T, angkat bicara soal hilangnya barang bukti berupa uang tunai dalam kasus dugaan politik uang yang terjadi di Banda Aceh. Ia menyebut, kejadian ini tak bisa dianggap remeh, sebab bukan hanya melanggar prosedur hukum, tetapi juga mencederai akal sehat dan kewarasan publik.

"Ini tidak masuk akal siapa pun. Tidak rasional secara apa pun jika barang bukti bisa dinyatakan hilang begitu saja," tegas Ampon T saat dihubungi Dialeksis, Minggu (20/7/2025).

Menurut Ampon T, ada empat alasan mendasar mengapa kasus ini tak bisa dianggap sebagai kelalaian teknis biasa dan harus disikapi serius.

Pertama, kata dia, tidak ada situasi force majeure atau keadaan luar biasa yang bisa dijadikan alasan hilangnya barang bukti. "Tidak ada bencana besar, tidak ada kebakaran hebat, dan tak ada satu pun peristiwa besar yang mengacaukan sistem kerja dan pengamanan di kantor Panwaslih saat itu," ujarnya.

Kedua, dalam prosedur penindakan oleh lembaga pengawasan seperti Panwaslih, sudah melekat standar administratif yang terstruktur dan wajib terdokumentasi. "Ada aturan dan regulasi yang mengatur seluruh tahapan penyitaan, termasuk dokumen berita acara dan bukti pendukung lainnya," ungkapnya.

Ketiga, proses penindakan dilakukan dalam kerangka agenda resmi negara. Artinya, pelibatan aparat hukum lintas lembaga semestinya membuat penanganan lebih tertib dan akuntabel. "Ini bukan tindakan sporadis, melainkan langkah hukum yang harusnya melibatkan banyak unsur dan tanggung jawab formal," tambahnya.

Keempat, para pihak yang kini sedang menjalani proses etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah individu-individu terpilih dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman formal yang memadai. "Ada yang bahkan sudah lebih dari satu kali dipercaya sebagai penyelenggara pemilu. Ini bukan orang sembarangan," jelasnya.

Karena itu, ia menegaskan, hilangnya barang bukti ini tak bisa disamakan dengan kasus kriminal biasa. "Ini bukan seperti uang hilang saat menangkap pencuri di kios rokok kampung. Ada konteks lembaga, tanggung jawab negara, dan standar integritas yang sedang dipertaruhkan," kata Ampon T.

Ampon T juga menyuarakan kecurigaan bahwa kasus ini bisa jadi merupakan upaya sistematis untuk melumpuhkan akal sehat masyarakat.

"Jangan-jangan ini cara halus melemahkan daya kritis publik. Kita diajak percaya bahwa integritas dan pertanggungjawaban itu absurd, bukan sesuatu yang serius. Ini bahaya," ujarnya tajam.

Ia bahkan mewanti-wanti jika tiba-tiba barang bukti tersebut ‘muncul kembali’, maka publik harus mengusut siapa pelaku di balik hilangnya barang bukti dan motifnya. “Karena perbuatannya sudah nyata dan berlangsung dalam jangka waktu cukup lama. Ini bukan insiden yang bisa dianggap selesai dengan alasan administrasi semata,” tegasnya.

Tak hanya soal hukum, Ampon T menyoroti dampak politis yang lebih luas. Menurutnya, kasus ini mengoyak integritas penyelenggara pemilu dan sekaligus menyeret Pemerintah Kota Banda Aceh ke dalam pusaran krisis kepercayaan.

"Terlebih, salah satu teradu diketahui juga memegang posisi strategis di lingkungan Pemko Banda Aceh, padahal masa tugasnya sebagai pengawas pemilu belum selesai. Ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan membuka persoalan baru," bebernya.

Untuk itu, ia mendesak Walikota Banda Aceh agar memberikan penjelasan terbuka kepada publik. "Apapun hasil keputusan DKPP nanti, kepala daerah wajib bersikap transparan agar informasi tidak berkembang liar. Jika memang telah terjadi malpraktik kebijakan, sebaiknya akui, minta maaf, dan lakukan koreksi segera," sarannya.

Ampon T mengingatkan bahwa ini bukan sekadar perkara hukum, tetapi menyangkut nilai-nilai publik yang lebih besar. “Soal ini bukan hanya hukum dan persepsi, tapi juga menyentuh kepercayaan publik, etos kerja, dan standar integritas dalam penyelenggaraan negara,” jelasnya.

Ia menegaskan, di era keterbukaan informasi, globalisasi media, dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam demokrasi, transparansi serta akuntabilitas pejabat publik adalah kebutuhan mendasar.

"Jangan anggap sepele soal integritas. Itu bukan hal kecil. Justru itu fondasi dari semua sistem yang kita bangun, apalagi jika pemimpin sedang gencar menggaungkan nilai-nilai syariat Islam. Dalam semua hal, pemimpin itu adalah contoh. Dan kasus ini adalah pertaruhan moral Walikota dalam bentuk lain," pungkas

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI