Rabu, 19 November 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Balai Bahasa Aceh Ajak Akademisi Aktif Perbaiki Entri Bahasa Aceh di KBBI

Balai Bahasa Aceh Ajak Akademisi Aktif Perbaiki Entri Bahasa Aceh di KBBI

Rabu, 19 November 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh, Drs. Umar Solikhan, M.Hum. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh, Drs. Umar Solikhan, M.Hum., menegaskan bahwa pembakuan dan penetapan bahasa daerah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pendekatan ilmiah yang terukur.

Hal itu ia sampaikan dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Aceh dengan tema Taklimat Media dan Peluncuran Produk Buku Tahun 2025 di Banda Aceh, Rabu (19/11/2025).

Umar menjelaskan bahwa metode dialektometri menjadi instrumen penting dalam menentukan apakah suatu ragam linguistik layak dikategorikan sebagai bahasa tersendiri atau hanya dialek dari bahasa yang lebih besar.

Ia menyampaikan bahwa perbedaan penamaan bahasa yang berkembang di tengah masyarakat sering kali tidak sejalan dengan hasil kajian ilmiah.

Karena itu, penetapan bahasa harus memperhatikan akurasi data, sejarah bahasa, serta tingkat perbedaan leksikal yang dianalisis melalui metodologi linguistik.

Menurutnya, salah satu penyebab munculnya kekeliruan adalah adanya fitur usulan publik dalam aplikasi KBBI yang memungkinkan siapa saja mengirimkan usulan kata tanpa melalui prosedur ilmiah yang ketat.

Karena itu, Balai Bahasa Aceh mengajak para akademisi, peneliti, dan pemerhati bahasa untuk turut berperan aktif melakukan koreksi dan pengusulan perbaikan entri agar KBBI semakin akurat.

“Peran akademisi sangat kami harapkan. Silakan manfaatkan fitur perbaikan entri KBBI. Ini penting agar bahasa Aceh yang masuk ke KBBI benar-benar sesuai kaidah dan hasil verifikasi ilmiah,” ujarnya.

Umar mengungkapkan bahwa Balai Bahasa Provinsi Aceh setiap tahun mengusulkan sekitar 1.000 kosakata bahasa Aceh dan bahasa daerah lain untuk memperkaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Proses pengusulan ini, katanya, dilakukan melalui tahapan ketat yang melibatkan kerja lapangan, verifikasi ilmiah, dan sidang komisi bahasa.

“Mulainya dari inventarisasi langsung ke lapangan, mengumpulkan data dari minimal tiga informan asli yang belum terintervensi bahasa lain,” jelas Umar.

Setelah data terkumpul, proses dilanjutkan dengan loka karya yang menghadirkan para informan, peneliti, serta akademisi. Tahapan akhir adalah Sidang Komisi Bahasa Daerah, yang dipimpin tim pusat dan pakar linguistik nasional.

“Prosesnya bisa hampir satu minggu penuh. Kami pastikan setiap kosakata yang kami usulkan sudah terverifikasi dengan baik sebelum diajukan ke KBBI,” tegasnya.

Umar mengakui bahwa sejumlah kesalahan makna dan penulisan kosakata Aceh dalam KBBI beberapa tahun terakhir terjadi karena adanya fitur usulan publik di aplikasi KBBI.

“Setiap orang bisa mengusulkan kata secara langsung. Masalahnya, tidak semua usulan itu melalui proses yang benar,” kata Umar.

Ia mengapresiasi masyarakat yang aktif mengusulkan kata, namun menegaskan perlunya evaluasi lebih cermat dari pihak pusat.

“Kesalahan-kesalahan seperti makna yang melenceng, penulisan yang tidak baku, atau pemahaman yang tidak sesuai konteks bahasa daerah, itu kemungkinan besar berasal dari usulan publik yang tidak melalui sidang ahli,” jelasnya.

Balai Bahasa Aceh, katanya, segera menurunkan tim untuk mengajukan revisi resmi terhadap sejumlah entri yang dinilai tidak akurat.

Dalam kajian linguistik, perbedaan bahasa baru dapat dikategorikan sebagai bahasa tersendiri apabila tingkat perbedaannya di atas 81%. Jika berada antara 61% hingga 80%, ragam tersebut hanya masuk kategori dialek.

Ia mencontohkan kasus di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, termasuk bahasa Jamee, Aneuk Jamee, dan ragam pantai barat Aceh.

“Sebagian masyarakat menyebut bahasa mereka berbeda, tetapi hasil dialektometri menunjukkan mereka masih satu rumpun. Secara ilmiah itu tidak bisa diubah, tetapi untuk menghormati identitas lokal, kami tetap memberi dua versi penamaan: versi ilmiah dan versi sesuai sebutan masyarakat,” kata Umar.

Menanggapi pertanyaan peserta diskusi mengenai kesalahan dalam entri KBBI, Umar menjelaskan bahwa para akademisi memiliki akses langsung untuk melakukan revisi.

“Ada fitur untuk mengusulkan perbaikan makna atau penulisan. Ini sangat kami harapkan dari akademisi agar KBBI semakin akurat,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa Balai Bahasa Aceh siap melakukan penyelerasan dan pemeriksaan ulang secara periodik bersama tim pusat.

Ia berharap proses ini terus berlanjut dan semakin banyak pakar, peneliti muda, serta masyarakat Aceh ikut terlibat aktif. Melalui metodologi ilmiah, verifikasi berlapis, serta keterlibatan publik dan akademisi, Balai Bahasa Provinsi Aceh memastikan bahwa pelestarian bahasa tidak hanya berbasis tradisi, tetapi juga keilmuan.

“Kita kumpulkan, kita teliti, kita lestarikan. Bahasa adalah identitas, dan identitas tidak boleh hilang hanya karena kekeliruan pemahaman,” tutup Umar Solikhan. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI