Rabu, 19 November 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Menyikapi Globalisasi, Pemerintah Aceh Diminta Perkuat Literasi Digital dan Budaya Lokal

Menyikapi Globalisasi, Pemerintah Aceh Diminta Perkuat Literasi Digital dan Budaya Lokal

Selasa, 18 November 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Mahasiswa Ilmu Politik dari Universitas Syiah Kuala (USK), Ahmad Sahibur Rayyan. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mahasiswa Ilmu Politik dari Universitas Syiah Kuala (USK), Ahmad Sahibur Rayyan mengatakan pengaruh gelombang globalisasi kini merasuk makin dalam ke sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat Aceh.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi, derasnya arus interaksi lintas budaya, dan penggunaan platform digital telah menjadi katalisator utama yang mendorong terjadinya pergeseran pola hidup secara signifikan di Bumi Serambi Mekkah. Perubahan ini membawa dua sisi mata uang yaitu peluang akses baru dan tantangan pelestarian nilai-nilai lokal.

"Fenomena ini paling terasa di kawasan urban utama, seperti Banda Aceh dan Lhokseumawe. Gaya hidup masyarakat, khususnya generasi muda, kini cenderung mengadopsi tren global. Media sosial dan beragam platform digital tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga ruang vital untuk beraktivitas, menimba ilmu, dan membangun jaringan profesional," ujarnya kepada media dialeksis.com, Selasa, 18 November 2025.

Namun, arus globalisasi juga membawa tantangan sosial-budaya yang pelik. Di tingkat akar rumput, sejumlah tokoh masyarakat mulai menyuarakan kekhawatiran tentang pergeseran nilai di kalangan generasi penerus. Salah satu kekhasan Aceh, yakni budaya gotong royong dan kebersamaan, disinyalir mulai berkurang. Pola hidup yang lebih individualistis perlahan mulai menggantikan semangat kolektif.

Sahibur Rayyan memandang tantangan ini sebagai risiko yang harus dikelola dengan cerdas. Ia melihat bahwa kemudahan akses dan fokus pada pencapaian personal melalui ruang digital bisa menipiskan interaksi sosial tatap muka.

“Kekuatan utama Aceh adalah budaya kolektifnya. Ketika generasi muda semakin tenggelam dalam dunia digital, risiko berkurangnya interaksi fisik dan sikap individualistis itu nyata. Ini adalah PR (Pekerjaan Rumah) besar, bagaimana kita memastikan mereka tetap berpegang pada Peu Haba Ureung Aceh (Apa kabar orang Aceh), semangat kebersamaan yang tulus,” jelasnya.

Dampak langsung interaksi lintas budaya juga sangat terasa di sektor pariwisata, terutama di daerah ikonik seperti Aceh Besar, Sabang, dan Aceh Tengah. Kunjungan wisatawan dan pendatang dari berbagai latar belakang budaya membuka peluang ekonomi baru yang menjanjikan bagi masyarakat lokal, mulai dari UMKM hingga jasa penginapan.

Namun, menurut Sahibur Rayyan, situasi ini menuntut kesiapan masyarakat setempat untuk menyeimbangkan keterbukaan ekonomi dengan pelestarian identitas.

“Pariwisata adalah pintu gerbang. Ketika kita terbuka terhadap dunia, devisa masuk, lapangan kerja tercipta. Tetapi kita juga harus siap menjaga nilai-nilai keacehan. Jangan sampai gelombang budaya asing menggerus syariat dan tradisi lokal kita. Ini membutuhkan dialog terus-menerus antara pelaku wisata, pemerintah, dan pemangku adat,” tegasnya.

Menyikapi kompleksitas ini, Mahasiswa Ilmu Politik USK tersebut menawarkan solusi yang fokus pada penguatan fondasi pendidikan dan kebijakan pemerintah daerah. Menurutnya, tantangan globalisasi hanya dapat disikapi dengan kebijakan yang tepat.

Ia mendorong penguatan pendidikan dengan kurikulum harus menekankan pentingnya identitas dan sejarah lokal di tengah arus global.

Selain itu, literasi digital bagi generasi muda untuk dididik untuk menjadi pengguna media digital yang kritis, bukan hanya konsumen pasif. Mereka harus mampu memfilter dan memanfaatkan informasi global secara produktif.

Ia juga memberikan saran untuk pemerintah daerah diharapkan menciptakan program yang secara aktif mendorong generasi muda untuk terlibat dalam kegiatan adat dan budaya lokal, agar identitas Aceh tetap menjadi jangkar.

“Pemerintah daerah memegang peran kunci. Mereka harus mampu menciptakan program yang mendorong generasi muda untuk tetap berpegang pada identitas Aceh, namun tetap terbuka terhadap perkembangan global,” tutup Ahmad Sahibur Rayyan.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI