Kamis, 25 September 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Meudrah Hikayat, Menghidupkan Kembali Memori Kolektif Aceh Lewat Sastra

Meudrah Hikayat, Menghidupkan Kembali Memori Kolektif Aceh Lewat Sastra

Kamis, 25 September 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Peneliti Center for Hikayat Studies (CHS), Razif Al Farisy. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Center for Hikayat Studies (CHS), lembaga yang berfokus pada pembelajaran dan penelitian karya-karya sastra Aceh klasik, untuk pertama kalinya menggelar kegiatan Meudrah Hikayat.

Hikayat yang dibahas adalah Hikayat Prang Cumbok, sebuah karya yang sarat nilai sejarah. Hikayat ini mengisahkan tentang revolusi sosial yang terjadi di Aceh pada akhir 1945, pasca-proklamasi kemerdekaan, yang mempertemukan dua kelompok besar yaitu kalangan ulama Aceh (golongan Teungku) dan kelompok bangsawan (Ulee Balang/Teuku). Pertempuran yang memusat di wilayah Pidie itu tercatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah Aceh.

Peneliti CHS, Razif Al Farisy, menjelaskan bahwa hikayat adalah warisan sastra yang kini semakin jarang disentuh, padahal di dalamnya terkandung pelajaran berharga bagi generasi sekarang.

“Hikayat bukan hanya karya sastra, tetapi juga sumber pengetahuan tentang nilai, budaya, dan sejarah Aceh. Hikayat Prang Cumbok, misalnya, merekam kisah revolusi sosial yang mengubah wajah masyarakat Aceh. Dari sini kita bisa belajar bagaimana konflik lahir, bagaimana rakyat bergerak, dan apa dampaknya bagi perjalanan bangsa,” ujar Razif kepada media dialeksis.com, Kamis (25/9/2025).

Tradisi meudrah hikayat sendiri bukan hal baru bagi kalangan pelajar Aceh. Sebelumnya, mahasiswa Aceh di Yogyakarta aktif menghidupkan tradisi ini, menjadikannya sebagai forum rutin untuk memperdalam pengetahuan, mengkaji teks lama, sekaligus menumbuhkan kesadaran sejarah dan budaya.

CHS bahkan telah merampungkan kajian Meudrah Hikayat Prang Goumpeni karya Do Karim, termasuk melakukan transliterasi teksnya, sebelum akhirnya membawa tradisi ini pulang ke Aceh.

Kegiatan meudrah di Banda Aceh kali ini juga menghadirkan semangat yang sama. Penyelenggara berkomitmen menjadikannya agenda rutin setiap minggu, terbuka untuk masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, maupun peneliti.

Razif menegaskan bahwa forum ini bukan hanya soal membaca teks lama, melainkan juga ruang dialog antargenerasi.

“Harapan kami, Meudrah Hikayat dapat menjadi wadah literasi budaya. Bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga membangun jembatan antar-generasi agar sejarah Aceh tetap hidup dan memberi inspirasi bagi masa depan,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bpka - maulid