Senin, 04 Agustus 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Qanun Kesenian Aceh Dibutuhkan untuk Kuatkan Kesenian di Aceh

Qanun Kesenian Aceh Dibutuhkan untuk Kuatkan Kesenian di Aceh

Sabtu, 02 Agustus 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Dewan Kesenian Aceh Provinsi Aceh menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk Aceh Menuju Darurat Kesenian pada Sabtu (2/8/2025). [Foto: dok. DKA]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berbagai bentuk kesenian Aceh saat ini hanya sering dapat dilihat di berbagai acara seremoni. Kegiatan-kegiatan berkesenian yang dulu menjadi denyut nadi masyarakat Aceh nyaris tak terlihat lagi. Berangkat dari kegelisahan tersebut, Dewan Kesenian Aceh (DKA) Provinsi Aceh menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk Aceh Menuju Darurat Kesenian.

Dari kegiatan ini ada beberapa hal yang menjadi catatan penting, salah satunya menguatkan harapan akn adanya keberadaan Qanun Kesenian sebagai payung hukum berbagai kegiatan seni di Aceh. Kegiatan FGD ini dilaksanakan, Sabtu (2/8/2025) di Banda Aceh.

Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal yang hadir mewakili pemerintah Aceh juga mengamini jika kegiatan-kegiatan kesenian di Aceh pada tataran masyarakat semakin berkurang. Perubahan pada cara-cara berkesenian itu dikatakannya menjadi tantangan bagi para seniman hari ini. 

“Pemerintah pada dasarnya akan selalu memberikan dukungan, akan tetapi tentunya ada skala prioritas yang kita akan lakukan. Tapi kami selalu terbuka untuk diskusi juga hal-ha lain terkait pengembangan kesenian di Aceh,” ujarnya.

Ketua DKA Provinsi Aceh, Dr.Teuku Afifuddin, M.Sn menambahkan, saat ini ada banyak kejadian di masyarakat mengenai beberapa kegiatan seni dan budaya yang dianggap tidak sesuai dengan pelaksanaan Syariat Islam.

“Di beberapa daerah aturannya berbeda dengan aturan di daerah lainnya. Misalnya ada yang tidak boleh menggunakan gendang, ada daerah yang tidak membolehkan pertunjukan dengan alat musik tertentu. Sehingga dibutuhkan satu aturan yang mengatur kegiatan seni dan budaya sehingga tidak terjadi dualisme penafsiran tentang kegiatan-kegiatan seni yang boleh atau yang tidak,” ungkapnya.

Sebagaimana salah satu fungsi DKA adalah mengontrol kegiatan seni budaya Aceh yang sesuai adat Istiadat Aceh dan Syariat Islam, oleh karena itu Qanun Kesenian penting sebagai landasan DKA bekerja sebagai salah satu lembaga dan mitra pemerintah Aceh.

Sejalan dengan itu, anggota DPR RI asal Aceh, Dr.H.M Nasir Djamil, M.Si yang hadir sebagai pemantik juga mendukung lahirnya sebuah payung hukum bagi kesenian di Aceh. 

"Qanun atau aturan tentang kesenian itu diperlukan untuk memudahkan aturan main kegiatan kesenian sehingga tidak berbenturan dengan syariat Islam dan juga memudahkan penganggaran sehingga kegiatan-kegiatan seni ini dapat didukung penuh oleh semua pihak terutama pemerintah,” jelasnya.

Dikatakan Nasir, payung hukum seperti Qanun ini juga bukan saja memudahkan pelaksanaan kegiatan seni di Aceh, tapi juga melindungi karya para pelaku seni sehingga lebih dapat diapresiasi. 

"Jika ada aturan yang jelas, nasib para pelaku seni juga mudah-mudahan dapat lebih baik lagi,” katanya.

Ceh Medya Hus salah satu peserta FGD mengungkapkan jika ada aturan-aturan di daerahnya yang berbeda dengan aturan di daerah lain. 

“Untuk itu diperlukan satu pandangan yang sama tentang kegiatan seni ini, agar para pelaku seni di Aceh tidak bingung, mana yang boleh dan mana yang tidak dan kami merasa aman untuk berkesenian,” ujarnya.

Hal ini juga diamini oleh para pelaku seni yang hadir sebagai peserta FGD. “Banyak sanggar tari di kampung-kampung saat ini mengalami mati suri karena stigma sebagian masyarakat yang mengatakan jika kegiatan menari itu kurang baik. Sehingga anak-anak banyak yang menjadi takut untuk pergi ke sanggar-sanggar tari. Karena itu perlu adanya satu aturan yang mengatur sehingga kita memiliki kekuatan untuk tetap melakukan kegiatan berkesenian,” ungkap salah satu pelaku seni tari, Nurul.

Sementara itu dtambahkan perwakilan Majelis Adat Aceh (MAA) Yus Dedi menambahkan ada beberapa praktik baik dari pemerintah lalu yang dapat dicontoh untuk pengembangan kesenian di Aceh saat ini. 

“Di masa Gubernur Ibrahim Hasan, seniman mendapat perhatian yang lebih, dan menjadikan kesenian lebih hidup, karena para seniman merasa diapresiasi dan juga terlihat keberpihakan pemerintah pada bidang kesenian,” ujarnya.

Hal senada juga ditambahkan oleh pelaku seni yang juga aktif dalam berbagai even, Sarjev. Dikatakan Sarjev bahwa pemerintah harus lebih peduli pada seniman misalnya jika ada kegiatan atau undangan dari luar, maka harus lebih mendahulukan kepentingan para seniman, dan bukan tim official yang biasanya bisa jadi jumlahnya lebih banyak dari para seniman yang diberangkatkan.

Di akhir diskusi, Ketua DKA Provinsi Aceh juga menambahkan, sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah Aceh dengan salah satau tugasnya adalah mengontrol kegiatan seni budaya berdasarkan adat istiadat dan syariat islam, maka Qanun Kesenian Aceh dibutuhkan untuk dapat menjalankan tugas dengan lebih maksimal. Selain perlunya perlindungan terhadap para pelaku seni dan kegiatan berkesenian melalui Qanun Kesenian, juga dibutuhkan revitalisasi seni Aceh.

“Revitalisasi seni Aceh ini harus dilakukan sebagai bentuk upaya pelestarian kesenian Aceh agar nantinya tidak hanya diketahui anak cucu kita lewat buku-buku, atau video-video saja karena sudah tidak ada kegiatannya secara nyata,” jelasnya.

Dikatakannya lebih lanjut, upaya revitalisasi kesenian Aceh ini juga dapat menjadi sarana untuk mempromosikan pariwisata dan meningkatkan ekonomi lokal.

Kegiatan yang dilakukan DKA Provinsi Aceh ini dihadiri perwakilan dari beberapa DKA kabupaten/kota Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Aceh Besar. Hadir pula perwakilan dari MPU, MAA, Kodam Iskandar Muda, Polda Aceh, ISBI Aceh, dan para pelaku seni di Aceh.

Hasil dari FGD ini akan dirumuskan untuk selanjutkan akan dijadikan rencana aksi bagi pengembangan dan pelestarian seni di Aceh. Hasil FGD ini juga akan diserahkan kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf sebagai bagian dari tugas DKA yaitu memberikan rekomendasi dan pertimbangan kepada Pemerintah Aceh mengenai kebijakan seni dan budaya. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI