DIALEKSIS.COM | Jakarta - Masa tugas Dr. Safrizal ZA, M.Si. sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Aceh resmi berakhir, ditandai dengan pelantikan Muzakir Manaf dan Fadhlullah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2025 - 2030, pada 12 Februari 2025. Meski hanya menjabat selama lima bulan sejak dilantik pada 22 Agustus 2024, kepemimpinan Safrizal dinilai berhasil memainkan peran krusial sebagai penjaga stabilitas dan fasilitator transisi demokrasi di Bumi Serambi Mekkah.
Di bawah kepemimpinannya, Aceh berhasil melewati dua agenda nasional besar secara mulus: Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI dan Pilkada Serentak 2024. Tanpa letupan konflik berarti, kedua agenda ini berjalan aman, tertib, dan membanggakan.
Dalam pidato perpisahannya, Safrizal menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh elemen masyarakat Aceh atas dukungan dan kebersamaan selama masa transisi. “Kami hanya penjaga malam demokrasi. Kini saatnya pemimpin definitif melanjutkan estafet,” ucapnya penuh ketulusan.
Dr. Safrizal ZA bukan sosok asing dalam birokrasi pemerintahan. Sebagai Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) di Kementerian Dalam Negeri, ia memiliki pengalaman panjang dalam mengelola isu-isu strategis di berbagai daerah. Kelahiran Aceh ini dikenal sebagai birokrat berintegritas yang senantiasa mengedepankan pendekatan dialog dan harmoni sosial.
Dalam kapasitasnya sebagai Pj Gubernur, Safrizal tidak hanya menjalankan peran administratif, tapi juga menjembatani aspirasi politik, sosial, hingga kultural masyarakat Aceh yang majemuk. Kepemimpinannya mampu meredam potensi konflik dan menjaga iklim politik tetap sejuk menjelang Pilkada yang sarat tensi.
Hal ini pula yang membuat Gubernur terpilih Muzakir Manaf (Mualem) tak ragu memberikan apresiasi secara terbuka.
“Saya pernah berbicara langsung dengan beliau soal pentingnya menjaga Pilkada damai. Dan beliau membuktikan itu. Tidak ada peluru, tidak ada bom. Ini sejarah baru bagi Aceh,” ujar Mualem usai pelantikannya.
Selama lima bulan masa tugasnya, Safrizal mencatat sederet capaian penting. Angka kemiskinan di Aceh tercatat turun 2% dalam enam bulan terakhir.
Ia juga mempercepat pengesahan APBA dan memastikan alokasi anggaran prioritas tetap berjalan. Selain itu, program distribusi bantuan sosial diperbaiki dengan pendekatan transparan dan berbasis data.
Di sisi lain, ia aktif melakukan blusukan ke berbagai daerah, baik untuk memantau persiapan PON, menyalurkan bantuan, hingga berdialog langsung dengan tokoh masyarakat, ulama, dan akademisi.
Salah satu langkah penting yang dikenang publik adalah perannya dalam menyelesaikan polemik batas wilayah empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara. Di balik layar, Safrizal turut memimpin pencarian dokumen bersejarah perjanjian tahun 1992 yang kemudian menjadi dasar keputusan Presiden Prabowo untuk mengembalikan Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil ke wilayah Aceh.
Langkah itu mempertegas reputasinya sebagai birokrat teknokratik yang tak hanya paham substansi, tapi juga memiliki akar dan kedekatan emosional dengan daerah yang dipimpinnya.
Kini, tongkat estafet kepemimpinan berada di tangan Gubernur dan Wakil Gubernur definitif. Namun, jejak langkah Safrizal sebagai penjaga transisi tak bisa dihapus begitu saja dari memori publik. Ia telah menuntaskan amanah yang diberikan dengan dedikasi dan ketulusan.
“Aceh tak pernah lekang di hati saya,” ujarnya menutup pidato perpisahan dengan nada emosional.
Warisan Safrizal di Aceh bukan hanya pada catatan administratif, tetapi juga pada jejak moral tentang pentingnya memimpin dengan tenang di tengah gejolak, dan menghadirkan kesejukan di saat potensi konflik mengintai. Aceh patut berterima kasih atas pengabdiannya. []