DIALEKSIS.COM | Jakarta - Namanya mungkin belum terlalu sering berseliweran di layar kaca, tapi Sugiono kini berdiri di jantung kekuasaan. Sosok militer yang tenang namun berwibawa itu baru saja dikukuhkan sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra. Tak hanya itu, Presiden terpilih Prabowo Subianto mempercayakan padanya jabatan strategis Menteri Luar Negeri dalam kabinet saat ini.
Dua posisi itu tak datang begitu saja. Sugiono, alumnus SMA Taruna Nusantara dan perwira lulusan Akademi Militer 1986, menapak karier panjang di satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Tempaan militer bukan hanya membentuk ketangguhan fisiknya, tetapi juga integritas dan disiplin yang kini menjelma dalam gaya kepemimpinannya. Seperti halnya Prabowo, Sugiono adalah sosok yang dibesarkan dalam kultur kemiliteran yang keras, namun sistematis.
Kedekatannya dengan Prabowo bukan hanya karena kesamaan latar belakang. Sugiono disebut-sebut sebagai “anak ideologis” Prabowo julukan yang tak sembarangan diberikan. Ia bukan sekadar loyalis, tetapi pemikir sekaligus eksekutor dari gagasan besar yang diusung pendiri Gerindra itu.
Sebagai Sekjen Gerindra, Sugiono memainkan peran sentral dalam membangun konsolidasi partai, menyatukan faksi-faksi, dan merancang strategi besar untuk Pemilu 2024. Gaya manajerialnya yang rapi, khas militer, menjadikan Gerindra tampak lebih solid di bawah komandonya. Ia bukan orator gemuruh di panggung politik, tapi manuvernya di balik layar membuat Gerindra semakin terstruktur dan efektif.
Di ranah diplomasi, penunjukan Sugiono sebagai Menlu menjadi isyarat penting dari Prabowo. Kenapa? karena Indonesia ke depan membutuhkan diplomasi yang berani namun terukur, berbasis pada kepentingan nasional yang tegas. Sugiono dipercaya membawa pendekatan “militer humanis” ke dalam kebijakan luar negeri, dengan visi menjadikan Indonesia sebagai middle power yang disegani di kawasan Indo - Pasifik.
Di tengah dinamika global yang penuh ketegangan geopolitik, Sugiono diharapkan menjadi jembatan antara strategi pertahanan nasional dan narasi diplomasi yang berpihak pada stabilitas dan perdamaian. Ia bukan diplomat karier, tetapi justru di situlah kekuatannya: Sugiono membawa sudut pandang strategis, bukan birokratis.
Bagi Aceh, kehadiran Sugiono bukan sekadar simbol di pusat kekuasaan. Dalam berbagai kesempatan, ia menunjukkan perhatian terhadap isu-isu Aceh dari soal sejarah, keistimewaan otonomi, hingga peran Aceh dalam kerangka pertahanan nasional.
Saat menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sugiono kerap menyuarakan pendekatan kultural dalam kebijakan pertahanan. Ia meyakini bahwa membangun keamanan bukan semata soal senjata, melainkan juga memahami nilai-nilai lokal, termasuk kearifan Islam dan adat istiadat di wilayah seperti Aceh.
Dalam kacamata Sugiono, Aceh adalah entitas penting dalam stabilitas Indonesia. Ia menekankan perlunya rekonsiliasi sejarah, penguatan ekonomi lokal, dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. “Aceh bukan wilayah pinggiran, melainkan salah satu pilar kekuatan Indonesia,” ungkapnya dalam sebuah forum strategis di Jakarta beberapa waktu lalu.
Kehadiran Sugiono di posisi kunci baik sebagai diplomat utama negara maupun motor penggerak partai pemenang pemilu membuka peluang strategis bagi Aceh. Ia bisa menjadi figur penghubung antara aspirasi lokal dan kebijakan nasional. Termasuk dalam mendorong program pembangunan berbasis kekhususan Aceh seperti pendidikan berbasis syariah, ekonomi maritim, serta konektivitas infrastruktur di kawasan pantai barat dan timur yang selama ini tertinggal.
Sebutan “anak ideologis” Prabowo bukan sekadar tempelan politis. Sugiono menyerap dan meneruskan visi besar Gerindra secara utuh dari strategi pertahanan, arah kebijakan luar negeri, hingga gaya kepemimpinan yang tegas dan tertata.
Ia memahami bahwa politik bukan sekadar seni kemungkinan, tetapi juga arena perjuangan nilai. Dalam narasi Gerindra, nilai - nilai itu merujuk pada kedaulatan, keberanian bersikap, dan keberpihakan pada rakyat. Sugiono menjadikan prinsip - prinsip itu sebagai kompas dalam setiap langkah politiknya.
Sebagai figur yang dipercaya oleh Prabowo untuk menduduki dua kursi strategis sekaligus, Sugiono sedang mengukir perannya sendiri dalam panggung kekuasaan nasional. Ia bukan sekadar pelaksana, melainkan pembentuk arah.
Bagi banyak kader Gerindra, kehadiran Sugiono sebagai Sekjen memberi nuansa baru. Ia memadukan ketegasan militer dengan pendekatan politik yang adaptif. Ia bukan politisi konvensional yang gemar retorika, tetapi pembuat keputusan yang bekerja senyap, cepat, dan akurat.
Menatap kabinet Prabowo - Gibran, Sugiono akan memainkan peran penting dalam dua arena yakni membangun citra diplomasi Indonesia yang kuat dan membesarkan partai Gerindra sebagai mesin politik yang berdaya tahan jangka panjang.
Khusus bagi Aceh, posisi Sugiono bisa menjadi pintu strategis untuk mengartikulasikan kembali relasi pusat-daerah yang lebih adil dan visioner. Sebuah peluang yang mesti dimanfaatkan oleh para pemimpin lokal dan masyarakat Aceh secara konstruktif.
Sosok Sugiono mungkin tak banyak bicara, tapi gerakannya dalam diam telah menempatkannya di barisan depan kekuasaan. Seorang anak ideologis yang kini tumbuh menjadi pemimpin strategis tak hanya bagi partai, tapi juga bagi republik ini.