DIALEKSIS.COM | Tajuk - Belum kering tinta pemanggilan Kelompok Kerja (Pokja) Pengadaan oleh Polda Aceh terkait dugaan korupsi proyek jalan senilai Rp728 miliar, publik justru disuguhi tontonan memalukan dari seorang pejabat tinggi. Alih - alih mendukung proses hukum yang sah dan transparan demi menguak kebenaran penggunaan dana publik, yang muncul adalah sikap arogansi yang mencederai prinsip dasar pemerintahan yakni komunikasi dan koordinasi.
Pejabat terpilih ini, bukannya membuka ruang dialog konstruktif dengan aparat penegak hukum, malah memilih jalur konfrontasi. Tuduhan "barter proyek berkedok hukum" terhadap Polda Aceh dilontarkan tanpa disertai secuil bukti konkret.
Ini bukan kritik, melainkan serangan balik yang bernada intimidasi. Alih-alih mempertanyakan secara resmi melalui mekanisme yang sopan dan beretika, pejabat ini justru menggunakan panggung publik untuk menebar kecurigaan dan merusak kredibilitas institusi penegak hukum. Sikap ini mencerminkan ketidakdewasaan berdemokrasi dan penghinaan terhadap proses hukum yang sedang berjalan.
Arogansi semakin nyata dalam nada seolah - olah proses hukum harus tunduk pada agenda politiknya. Pernyataan bahwa pemanggilan Pokja "berpotensi mengganggu laju pembangunan" adalah upaya licik mengkambinghitamkan penegakan hukum atas nama kemajuan.
Ini adalah logika berbahaya yang menyamakan pembangunan dengan kekebalan hukum. Pejabat ini lupa bahwa pembangunan berkelanjutan justru ditopang oleh akuntabilitas dan pemberantasan korupsi, bukan dengan menutup mata terhadap dugaan penyimpangan, sekecil apapun proyeknya.
Kritik selektifnya mempertanyakan mengapa proyek besar tak tersentah sambil meremehkan penyelidikan proyek "kecil" semakin menguatkan kesan sikap bermuka dua. Ini adalah upaya pengalihan isu klasik, seolah ada hierarki nilai dalam penegakan hukum.
Publik Aceh berhak marah. Inkonsistensi sikap ini, diam pada kasus besar lain tetapi ribut saat lingkaran dalamnya tersentuh, menimbulkan tanda tanya besar tentang integritas dan motivasi sesungguhnya.
Sikap pejabat ini bukan sekedar kurang komunikatif, melainkan penghancuran deliberasi. Ini adalah bentuk arogansi kekuasaan yang menganggap instansi lain, bahkan penegak hukum, harus tunduk pada kemauannya.
Ketiadaan upaya koordinasi formal yang elegan, digantikan dengan gertakan politik melalui media dan ancaman "sampai ke Mabes Polri", adalah preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan Aceh. Sikap ini mengabaikan prinsip checks and balances dan merendahkan martabat lembaga yang seharusnya dijunjung tinggi.
Publik Aceh menuntut lebih. Mereka mendambakan pejabat yang menghargai proses hukum, yang memilih dialog dan koordinasi sebagai jalan utama menyelesaikan masalah, bukan adu kuasa dan saling tuding.
Arogansi dan sikap konfrontatif hanya mengubur masalah lebih dalam, menciptakan ketidakpercayaan, dan pada akhirnya, menghambat pembangunan Aceh yang sesungguhnya pembangunan yang bersih, akuntabel, dan berkeadilan. Saatnya kekuasaan ditundukkan pada etika, hukum, dan rasa hormat pada proses, bukan sebaliknya. Pejabat, ingatlah: jabatan adalah amanah, bukan tameng untuk arogansi.