DIALEKSIS.COM | Tajuk - Bencana alam selalu menghadirkan dua wajah sekaligus. Di satu sisi, ia adalah peristiwa kemanusiaan yang menuntut empati, kehadiran negara, dan kerja cepat lintas sektor. Di sisi lain, bencana kerap membuka tabir persoalan struktural meliputi tata kelola yang lemah, respons yang lamban, hingga distribusi bantuan yang timpang. Di titik inilah peran pers menjadi krusial bukan sekadar sebagai penyampai kabar, melainkan sebagai penjaga nurani publik.
Pernyataan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh yang meminta pemerintah pusat tidak membatasi kebebasan pers dalam memberitakan dampak banjir bandang dan longsor di Aceh patut dibaca sebagai alarm demokrasi. Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin, dengan tegas menolak upaya penggiringan pemberitaan demi citra positif. Baginya, pers bekerja untuk menyampaikan kebenaran, bukan menutup realitas pahit yang dihadapi korban. Sikap ini bukan sikap oposisi, melainkan konsekuensi logis dari fungsi pers itu sendiri.
Dalam teori komunikasi politik, pers dikenal sebagai watchdog, anjing penjaga demokrasi. Istilah ini menegaskan bahwa media memiliki tugas mengawasi kekuasaan agar tidak menyimpang dari kepentingan publik. Harold D. Lasswell bahkan menempatkan fungsi pengawasan (surveillance) sebagai salah satu fungsi utama media massa, terutama dalam situasi krisis. Tanpa pengawasan yang jujur dan terbuka, negara berisiko terjebak dalam ilusi keberhasilan yang jauh dari kondisi nyata di lapangan.
Karena itu, imbauan agar media “tidak mengekspos kekurangan pemerintah” atau hanya menyampaikan “energi positif” patut dikritisi secara serius. Pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Maruli Simanjuntak dan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya, meski mungkin dimaksudkan untuk menjaga stabilitas, tetap menyisakan persoalan mendasar,di mana posisi kebenaran jika fakta harus disaring demi citra? Stabilitas yang dibangun di atas pembungkaman informasi justru rapuh dan berpotensi melahirkan ketidakpercayaan publik.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan tepat mengingatkan bahwa dalam situasi bencana, masyarakat justru membutuhkan informasi yang jujur dan utuh. Kritik berbasis fakta bukan ancaman bagi pemerintah, melainkan cermin untuk evaluasi. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan, keterbukaan informasi saat krisis justru mempercepat respons, memperbaiki koordinasi, dan mencegah penyebaran disinformasi. Sebaliknya, pembatasan informasi sering kali melahirkan spekulasi, rumor, dan kepanikan yang lebih berbahaya.
Aceh, dengan kondisi geografis yang tidak mudah, menghadapi tantangan ganda dalam penanganan bencana. Daerah pedalaman yang sulit dijangkau, keterbatasan infrastruktur, dan cuaca ekstrem membuat proses penyelamatan dan distribusi bantuan tidak selalu berjalan mulus. Fakta bahwa masih ada warga yang belum tersentuh bantuan adalah realitas yang tidak bisa disamarkan dengan narasi optimistis. Menutupinya sama saja dengan mengabaikan penderitaan mereka yang paling rentan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Dalam konteks bencana kemanusiaan, jaminan ini seharusnya semakin kuat, bukan justru menyempit. Informasi yang benar adalah hak publik, dan pers adalah saluran utama untuk memastikan hak itu terpenuhi. Membatasi pers berarti membatasi hak masyarakat untuk mengetahui, memahami, dan ikut mengawasi jalannya penanganan bencana.
Pandangan akademisi seperti Yuhdi Fahrimal mempertegas persoalan ini. Pers, katanya, bukan alat propaganda negara, melainkan pilar demokrasi. Dalam konteks bencana, pemberitaan yang apa adanya berfungsi sebagai alarm bagi negara. Alarm memang nyaring dan kadang tidak nyaman, tetapi tanpanya, bahaya justru luput dari perhatian. Negara yang matang secara demokratis seharusnya tidak alergi terhadap alarm tersebut.
Tentu, kebebasan pers tidak identik dengan kebebasan tanpa batas. Profesionalisme, keberimbangan, dan akurasi tetap menjadi fondasi kerja jurnalistik. Kritik yang dibangun di atas data dan verifikasi justru memperkuat posisi pers di mata publik. Namun, tuntutan profesionalisme ini tidak boleh dibalik menjadi dalih untuk menekan atau mengendalikan narasi. Etika jurnalistik adalah urusan internal pers, bukan ruang intervensi kekuasaan.
Di sinilah letak pentingnya sinergi yang sehat antara pemerintah dan media. Sinergi bukan berarti keseragaman narasi, melainkan keterbukaan informasi dan saling menghormati peran masing-masing. Pemerintah menyediakan data yang akurat dan akses yang memadai, sementara pers mengolahnya secara independen untuk kepentingan publik. Relasi seperti ini justru memperkuat kepercayaan dan efektivitas penanganan bencana.
Bencana tidak membutuhkan pencitraan, melainkan kehadiran nyata. Korban tidak memerlukan narasi indah, tetapi bantuan yang sampai tepat waktu. Dan publik tidak membutuhkan kabar yang disaring, melainkan informasi yang jujur. Dalam situasi seperti ini, membungkam fakta sama artinya dengan memperpanjang penderitaan.
Seruan PWI Aceh dan AJI seharusnya menjadi pengingat bersama bahwa demokrasi diuji justru saat krisis. Cara negara merespons kritik di tengah bencana akan menentukan kualitas demokrasinya. Apakah negara memilih mendengar dan berbenah, atau menutup telinga demi kenyamanan sesaat.
Pada akhirnya dari tajuk Dialeksis, ingin menegaskan bahwa pers yang bebas dan bertanggung jawab bukan lawan pemerintah, melainkan mitra kritis bagi kemanusiaan. Selama bencana masih menyisakan luka dan ketidakadilan, fakta harus terus disuarakan. Karena hanya dengan kebenaran, keadilan dan pemulihan bisa benar-benar dimulai.
