DIALEKSIS.COM | Tajuk - Membiarkan utang menumpuk, sementara kita mampu melunasinya, apakah itu prinsip yang bijak? Bukankah selagi mampu menyelesaikan utang, melunasinya adalah suatu kewajiban. Kita mampu namun tidak melunasinya bukankah itu zalim?
Mari kita lihat apa yang akan dilakukan Gubernur Muzakir Manaf dalam mengurus persoalan utang. Pemerintah Aceh mengambil keputusan yang tak populis, tapi penting. Melunasi utang proyek Multi Years Contract (MYC) senilai Rp43,9 miliar melalui Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2024.
Langkah ini memang menimbulkan kegaduhan kecil di kalangan publik dan parlemen. Namun di balik keputusan yang tampak administratif ini, tersimpan pesan kuat. Menjaga kredibilitas fiskal jauh lebih penting daripada sekadar menunda risiko anggaran.
Kebijakan ini tidak tercantum dalam dokumen perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA-P) 2024. Tapi pemerintah meyakinkan bahwa prosedur telah ditempuh sesuai hukum yang berlaku, khususnya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan ini memberikan ruang bagi kepala daerah untuk mengubah penjabaran APBD dalam kondisi tertentu, termasuk membayar utang yang sah dan telah melalui persetujuan legislatif pada saat proyek dimulai. Tak diperlukan persetujuan ulang dari DPRD, karena ini bukan inisiatif baru, melainkan lanjutan dari kewajiban lama.
Dengan demikian, pelunasan ini bukan sekadar manuver fiskal, tapi bentuk komitmen pada prinsip continuity of governance- kesinambungan dalam menjalankan pemerintahan.
Plt Sekda Aceh saat itu, Muhammad Diwarsyah, bahkan menegaskan bahwa pembayaran itu tidak hanya menyasar MYC, tetapi juga program strategis seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang selama ini ikut terseret dalam tumpukan utang masa lalu.
Pemerintah tak ingin mewariskan beban fiskal yang membengkak pada tahun-tahun berikutnya. Kita tahu, mekanisme pelunasan utang melalui Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) bukan hal baru dalam tata kelola keuangan daerah.
Yang membedakan, dalam praktik kali ini ada upaya sistematis: reviu dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), pelibatan tim anggaran, dan keterbukaan informasi publik. Ini menunjukkan pola pengelolaan fiskal yang bergerak ke arah good governance.
Dalam tahun-tahun sebelumnya, utang dibiarkan menumpuk, Silpa melonjak hingga Rp3,9 triliun, dan tidak ada langkah korektif berarti. Pemerintah saat itu abai pada ancaman krisis fiskal yang mengintai.
Kini, arah kebijakan mulai berubah. Langkah membayar utang justru mencerminkan prinsip prudent fiscal management, pengelolaan fiskal yang bijak dan hati-hati. Ini selaras dengan teori fiskal Richard Musgrave yang menyatakan bahwa penganggaran yang baik bukan tentang menolak belanja, tapi tentang menata prioritas.
Dalam konteks ini, menyelesaikan utang lama adalah bentuk tanggung jawab fiskal (fiscal responsibility) yang patut diapresiasi. Pemerintah memilih menyelesaikan beban daripada terus menumpuknya sebagai “bom waktu” fiskal.
Dari sisi tata kelola, langkah ini juga sejalan dengan prinsip accountability in public finance. Anggaran publik tidak hanya harus sah secara prosedural, tetapi juga bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan administratif. Tidak ada kebijakan fiskal yang netral. Selalu ada implikasi sosial dan politik di balik setiap angka dalam dokumen APBD.
Perlu juga diingat, dalam tatanan hukum nasional, prinsip kesinambungan anggaran adalah amanat undang-undang. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara eksplisit mewajibkan kepala daerah melanjutkan program dan kewajiban yang telah disetujui pemerintah sebelumnya.
Namun, kritik tetap valid dan diperlukan. DPR Aceh maupun publik berhak mengawasi dan mempertanyakan arah kebijakan fiskal, apalagi ketika berimplikasi besar terhadap postur APBA. Tapi kritik harus dibangun di atas pemahaman regulasi dan konteks. Tanpa itu, kritik hanya menjadi gemuruh politik, bukan kontrol kebijakan.
Pemerintah Aceh sudah mencoba menjawab kegelisahan publik dengan membuka ruang komunikasi, melakukan audit internal, dan memastikan keterlibatan APIP. Ini langkah progresif menuju tata kelola fiskal yang terbuka.
Bukan angka Rp43,9 miliar yang perlu kita soroti, tetapi sinyal yang dikirimkan lewat kebijakan itu, bahwa Pemerintah Aceh tak ingin lagi terjebak dalam pola pengelolaan anggaran yang tambal sulam dan reaktif.
Pelunasan ini membuka jalan bagi perencanaan fiskal yang lebih bersih. Ruang fiskal yang sebelumnya tersandera utang kini bisa dimanfaatkan untuk pembangunan sektor riil: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi masyarakat.
Dalam era otonomi dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak cukup hanya menjalankan anggaran. Ia harus memimpin narasi pengelolaan keuangan yang transparan, kredibel, dan berorientasi jangka panjang. Tak ada lagi ruang untuk sekadar menghindari beban politik dari kebijakan tidak populer.
Pelunasan utang melalui Pergub Nomor 33/2024 mungkin tidak sempurna. Tapi ia adalah upaya menyusun ulang peta jalan fiskal Aceh. Bukan untuk masa lalu, tetapi demi masa depan yang lebih tertata dan berkelanjutan.
Atas nama tanggung jawab anggaran, keputusan ini layak mendapatkan ruang apresiasi. Tidak karena angkanya besar. Tapi karena keberanian menolak mewariskan krisis fiskal bagi generasi berikutnya.
Selagi mampu melunasi utang dalam waktu cepat dan tidak membiarkannya menjadi beban adalah langkah bijak.[red]