Beranda / Tajuk / Menjalankan Qanun LKS Tanggungjawab Siapa?

Menjalankan Qanun LKS Tanggungjawab Siapa?

Selasa, 04 Januari 2022 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Soal Lembaga Keuangan Syariah (LKS), rakyat Aceh punya harapan dan keinginan agar lembaga ini dapat berperan maksimal. Mampu menjawab keinginan rakyat sesuai dengan Qanun nomor 11 tahun 2018.

Butir butir qanun ini harus mampu dijalankan dengan baik oleh mereka yang mengambil kebijakan. Bila mampu dijalankan dengan baik, maka ekonomi rakyat Aceh ke depanya akan semakin sejahtera. Apalagi ketika dikaitkan dengan bantuan untuk UMKM yang porsinya mencapai 40 persen.

Masyarakat dan banyak pihak berharap, agar hak-hak mereka yang termaktub dalam qanun itu mampu diwujudkan pemerintah. Untuk itu kita semuanya harus mensupport agar pihak bank pro kepada UMKM, agar kesejahtraan rakyat Aceh semakin membaik.

Sekarang memang belum mencapai 40 persen, namun pihak bank harus mencapai 40 persen keberpihaknya kepada UMKM. Lantas bagaimana dengan persyaratan untuk mencapai 40 persen, apakah semata-mata tanggungjawab pihak bank?

Lantas tanggungjawab masyarakat yang harus memenuhi kewajibanya bagaimana? Tanpa rasa tanggungjawab dari masyarakat, akan sulit bagi pihak bank untuk memberikan hak masyarakat. Artinya masyarakat juga dituntut untuk melaksanakan kewajibanya, dan pihak bank harus memberikan hak-hak masyarakat.

Ada cacatan menarik dari pernyataan Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Aceh, Yusri. Dia menyebutkan ada satu pasal didalam Qanun LKS tentang keberpihakan bank kepada UMKM.

“Ditahun 2022, hendaknya semua perbankan atau industri keuangan yang ada di Aceh bisa memberikan porsinya 40 persen kepada UMKM. OJK akan mensupport untuk memberikan porsi 40 %,” ucap Yusri.

Yusri menyebutkan, walau sekarang ini masih rata-rata dibawah 20 persen, namun seiring dengan proses harus mencapai 40 persen. Saat ini kredit kredit pembiayan UMKM nilai NPL nya masih tinggi.

Kreditnya bermasalah, makanya pihak OJK meminta mereka yang bermasalah mainya dibawah 5 persen dulu. Ketika bermain diatas 5 persen, pihak OJK akan menyetop dulu, mengevaluasi dulu, mana yang betul “betul bagus, semuanya disaring dulu.

Pihak Bank Indonesia sudah menetapkan 20 persen, itu dulu dipenuhi, ketika sudah bagus, kesadaran masyarakat sudah tinggi, baru dinaikan 40 persen, jadi semuanya harus bertahap, sebut Yusri.

Menyimak pernyataan kepala OJK Provinsi Aceh, ada persoalan juga di masyarakat. Ada kredit yang bermasalah. Sehingga perlu dilakukan evaluasi, dianalisa kembali. Artinya ada pengambil kredit tidak melaksanakan kewajibanya.

Demikian dengan data dari Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Diskop UKM) Aceh, pihaknya sudah menyiapkan anggaran (2021) untuk konversi ke syariah. Ada 204 koperasi yang akan difasilitasi. Namun kenyataan anggaran itu harus direvisi kembali.

Kenapa? Karena pihak koperasi tidak semuanya merespon. Setelah direvisi, dari 204 tinggal 151 lagi yang akan difasilitasi dinas ini untuk konversi ke syariah. Sukseskah? Tidak, tidak semua koperasi ini mau memanfaatkan momen, walau sudah difasilitasi Diskop UKM.

Menurut Ir. Helvizal Ibrahim, Kadis Koperasi UKM, dari hasil revisi hanya tinggal 151 koperasi, itu juga hanya 129 koperasi yang mengajukan permintaan uang yang sudah disiapkan pihak Diskop UKM. Artinya masih banyak koperasi di Aceh ini yang enggan memperbaiki diri kearah perbaikan yang lebih bagus.

Untuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) kini sudah ada 134, dimana untuk 10 koperasi bisa diawasi oleh 1 DPS. Artinya dengan jumlah itu, DPS yang ada saat ini bisa mengawasi seribuan lebih koperasi yang ada.

Penjelasan Kadiskop UKM Aceh ini menjadi menarik, ternyata tidak semua koperasi yang ada yang sudah disediakan dananya untuk konversi ke syariah, mau berubah untuk maju. Bahkan ketika dilakukan revisi angaran itu juga tidak memenuhi target.

Tentunya ini menjadi permasalahan kita bersama, integritas masyarakat juga perlu diperhatikan. Perlu adanya edukasi secara massif. Artinya untuk mendapatkan sesuatu ada kewajiban yang harus dilakukan.

Kini timbul pertanyaan, siapa yang akan melakukan edukasi secara massif kepada masyarakat, agar mereka bisa memanfaatkan peluang 40 persen dari pihak bank yang pro UMKM? Kalau kreditnya bermasalah, apakah pihak bank mau dan harus memenuhi 40 persen bantuanya kepada UMKM?

Siapa yang mau mengambil peran mengedukasi masyarakat, jangan hanya menyebutkan masalah bersama yang harus diselesaikan, namun tidak ada pihak yang menyelesaikanya. Apakah pengambil kebijakan di Aceh melihat persoalan ini sebagai persoalan rakyat? Bila iya, apa sikap mereka?

Apakah masyarakat juga mengerti dan faham tentang mekanisme bagi hasil, seperti yang dijelaskan dalam Qanun LKS? Apakah masyarakat kita faham dengan pola tersebut? Apakah masyarakat kita sudah siap berbagi untung dan rugi?

Bagaimana dengan pihak Kampus, apakah mereka akan mengambil peran untuk membuka wacana, atau survey tentang kesiapan system bagi hasil yang akan dijalani oleh masyarakat?

Sejumlah pertanyaan-pertanyaan itu kiranya mendapat jawaban, khususnya dari mereka yang menjadi pemimpin Aceh, pengambil kebijakan. Siapa yang jernih dan jeli melihat persoalan rakyat ini?

Kalau dibiarkan persoalan ini berlarut-larut, tanpa ada pihak yang mau menyelesaikan, sama dengan membiarkan masyarakat berjalan terlunta-lunta di kegelapan malam tanpa ada penerangan. Sudah saatnya kita semuanya bangkit.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda