Selasa, 15 Juli 2025
Beranda / Tajuk / Musda Golkar Aceh Antara Harapan dan Hukuman Publik

Musda Golkar Aceh Antara Harapan dan Hukuman Publik

Selasa, 15 Juli 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi
Ilustrasi partai politik Golkar. Foto: net

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Musyawarah Daerah (Musda) XII Partai Golkar Aceh sejatinya bukan semata agenda rutin lima tahunan untuk memilih ketua. Ia adalah panggung pertaruhan moral dan arah masa depan partai di tengah krisis kepercayaan publik terhadap elite politik. 

Di Aceh, partai beringin itu kini berada di persimpangan tajam: memilih jalan reformasi internal atau kembali terjerembab dalam kubangan kompromi politik beraroma pragmatisme dan beban masa lalu.

Publik hari ini tak lagi mudah diyakinkan oleh jargon-jargon perubahan jika figur yang diusung masih bersinggungan dengan kontroversi hukum atau etik. Di tengah kian kuatnya tuntutan terhadap transparansi dan akuntabilitas, pemimpin partai politik terutama yang akan menjadi poros kekuasaan dalam Pilkada 2024 dituntut untuk tampil tanpa cacat rekam jejak.

Penting disadari, Musda kali ini berlangsung di tengah sorotan tajam aparat penegak hukum terhadap dugaan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang menyeret sejumlah nama dari kalangan elite daerah. 

Figur - figur yang tersangkut, baik secara langsung maupun sebagai bagian dari jaringan kebijakan yang sedang diselidiki, seharusnya tidak lagi menjadi opsi dalam kontestasi internal partai. Bukan semata soal azas praduga tak bersalah yang tetap harus dijunjung melainkan soal bagaimana persepsi publik bekerja dalam ranah politik.

Dalam politik, persepsi lebih menentukan daripada putusan hukum. Kesan bermasalah bisa merontokkan kepercayaan, bahkan sebelum palu hakim diketuk. Dan masyarakat Aceh hari ini lebih cerdas, kritis, dan tidak mudah dibujuk dengan narasi “belum terbukti bersalah”. 

Sebaliknya, mereka mencari figur yang bersih, lugas, dan mampu membawa semangat baru dalam politik daerah yang terlalu lama dicekik oleh patronase dan transaksionalisme.

Partai Golkar Aceh memiliki sejarah panjang dengan dinamika kekuasaan lokal dan nasional. Tapi sejarah juga mencatat, bagaimana kekeliruan memilih pemimpin berdampak pada kemerosotan posisi strategis partai di parlemen maupun dalam kontestasi eksekutif. 

Seorang ketua yang pernah diandalkan karena pengalaman nasional, justru gagal membumikan peran partai di tingkat lokal, karena tak mampu melepaskan diri dari beban masa lalu. Pengulangan kesalahan itu, jika terulang kembali, akan menjadi bencana elektoral yang berulang.

Data survei terbaru dari sejumlah lembaga kredibel menunjukkan fakta mencolok: calon pemimpin yang bersih dari kasus hukum memiliki tingkat keterpilihan hingga 35 - 50 persen lebih tinggi dibandingkan mereka yang menyimpan “catatan merah”. Angka ini adalah peringatan keras sekaligus harapan tegas dari publik: jangan main - main dengan kepercayaan rakyat.

Bagi Golkar Aceh, ini bukan waktu untuk bermain aman dengan kompromi atau negosiasi elitis yang mengabaikan aspirasi akar rumput. Jika partai ini masih ingin tampil sebagai aktor utama dalam panggung politik Aceh baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, maka kepemimpinan partai harus diserahkan kepada sosok yang visioner, bersih, dan punya modal legitimasi moral.

Lebih dari sekadar citra, pemimpin partai juga harus mampu membangun kaderisasi yang sehat. Jika ketua terpilih masih dibebani oleh isu hukum dan etik, maka proses regenerasi akan mengalami stagnasi. 

Kader - kader muda yang berintegritas akan kehilangan kepercayaan, karena mereka melihat bahwa tiket menuju puncak ditentukan bukan oleh kompetensi dan kredibilitas, melainkan oleh deal - deal gelap dan loyalitas sesaat.

Musda ini adalah penentu arah, apakah Golkar Aceh ingin menjadi partai modern yang adaptif terhadap dinamika politik bersih dan demokratis, atau tetap menjadi partai konservatif yang tersandera kepentingan segelintir elite? 

Ini saatnya membuktikan, bahwa partai berlambang beringin itu mampu berdiri tegak di atas etika politik dan aspirasi publik, bukan sekadar bertahan sebagai institusi yang hadir tapi tak menentukan.

Pemilihan ketua DPD bukan lagi soal siapa yang menang dalam hitung suara, tapi siapa yang mampu membawa harapan baru bagi masa depan Aceh. Partai ini butuh pembaruan total, bukan hanya di permukaan, tetapi juga di akar dan batang tubuh organisasinya. 

Jika partai kembali salah pilih, maka bersiaplah menjadi penonton dalam pertarungan politik lokal. Sebab rakyat sudah terlalu muak dengan gaya lama dalam kemasan baru.

Golkar Aceh diuji, apakah ia akan melangkah ke depan dengan penuh integritas, atau justru terus berkutat dalam bayang-bayang masa lalu. 

Jika kesalahan yang sama diulang, maka sejarah akan mencatat bahwa partai ini memang tak pernah belajar. Dan publik pun, dengan caranya sendiri, akan menghukumnya bukan dengan palu pengadilan, tapi dengan suara di bilik TPS.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI