DIALEKSIS.COM | Tajuk - Sebuah Alegori tentang Pikir, Kekuasaan, dan Celah Cahaya
Di negeri Arkhadi, waktu bukan sekadar angka. Ia adalah utusan. Dan tahun ini, utusan itu datang membawa ancaman: minggu ke-Delapan telah lewat, minggu ke-Sembilan hampir habis, tapi gulungan perubahan belum juga tiba di Balai Penimbang.
Setiap tahun, gulungan itu dikirim dari Istana Pelaksana ke Balai Penimbang untuk ditimbang, dibaca, dan diperdebatkan. Ia berisi rancangan belanja tahunan yang menentukan nasib sumur, jalan, dan jendela rakyat. Tapi tahun ini, gulungan itu tertahan. Bukan karena tinta belum kering, tapi karena tangan-tangan yang memegangnya masih saling tarik menarik.
Di ruang arsip Istana Pelaksana, duduklah Tuan Sarka. Ia bukan pemimpin tertinggi, bukan pula pemilik stempel kekuasaan. Tapi ia adalah penjaga alur, pengatur dokumen, dan saksi bisu dari semua yang tak terucap. Rambutnya mulai memutih, bukan karena usia, tapi karena beban yang tak bisa ia bagi.
Ia tahu, setiap hari yang berlalu tanpa gulungan adalah satu langkah menuju kekacauan. Tapi ia juga tahu, mengirim gulungan tanpa restu dari kursi-kursi emas berarti menyalakan api yang bisa membakar seluruh istana.
“Waktu bukan musuhku,” gumamnya. “Musuhku adalah ketakutan orang-orang yang seharusnya berani.”
Di Balai Penimbang, suasana tak kalah muram. Kursi-kursi terbagi dua: kursi emas untuk para Elit, dan bangku kayu untuk para Anggota. Pikir -- pokok pikiran pembangunan -- menjadi rebutan. Para Elit ingin menguasai semuanya, menentukan sendiri di mana angin pembangunan berhembus. Para Anggota tahu ini tak adil, tapi mereka diam. Sebab para Elit punya hubungan khusus dengan Pemegang Tongkat Api, sang pemimpin partai terbesar yang juga mengendalikan Istana Pelaksana.
Di lorong belakang Balai Penimbang, dua Anggota berbicara pelan.
“Aku ingin menolak rancangan Pikir mereka,” kata yang satu.
“Kalau kau menolak, kau akan dipindahkan ke komisi yang tak punya anggaran. Atau lebih buruk, kau akan kehilangan suara di rapat berikutnya,” jawab yang lain.
“Tapi ini bukan demokrasi.”
“Ini bukan demokrasi. Ini Arkhadi.”
Sementara itu, rakyat Arkhadi bertanya-tanya: kenapa sumur belum digali, jalan belum dibuka, dan angin masih diam?
Di sebuah warung kecil, seorang ibu berbicara pada anaknya.
“Kenapa kita masih pakai lampu minyak, Bu?”
“Karena para Penjaga Anggaran sedang sibuk memilih warna karpet untuk ruang rapat mereka.”
“Kenapa mereka tak memilih lampu untuk kita?”
“Karena kita tak punya kursi emas.”
Dan di tengah semua itu, Tuan Sarka tetap duduk di bawah lampu minyak, menatap jam pasir yang tak lagi ia balik. Ia tahu, waktu tak bisa ditawar. Tapi ia juga tahu, mengirim gulungan berarti menantang mereka yang tak bisa disentuh.
Malam itu, saat angin berhenti dan langit Arkhadi menggantung kelabu, sebuah surat tiba. Bukan dari Balai Penimbang. Bukan dari Pemimpin Partai. Tapi dari seorang mantan Penjaga Anggaran yang kini tinggal di desa terpencil.
Isi suratnya sederhana:
“Tuan Sarka, jangan tunggu restu dari mereka yang menjadikan waktu sebagai alat tawar. Kirim gulunganmu. Biarkan rakyat tahu siapa yang menunda, siapa yang diam, dan siapa yang memilih jalan terang. Kadang, tangan Tuhan bekerja lewat keberanian kecil yang tak disadari.”
Tuan Sarka membaca surat itu tiga kali. Lalu ia berdiri, mengambil gulungan yang sudah lama selesai tapi tertahan. Ia menulis satu kalimat di sampulnya:
“Dikirim bukan karena semua setuju, tapi karena waktu tak bisa ditawar.”
Esoknya, gulungan tiba di Balai Penimbang. Para Elit terkejut. Para Anggota terdiam. Tapi rakyat mulai bicara.
Dan di langit Arkhadi, mendung mulai pecah. Bukan karena badai telah reda, tapi karena satu tangan telah berani membuka jendela. [rr]