Beranda / Berita / Aceh / Akademisi Ungkap Budaya Patriarki di Aceh

Akademisi Ungkap Budaya Patriarki di Aceh

Jum`at, 24 Desember 2021 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky
Dosen Pendidikan Guru Madrasah Ibtiyah Fakultas Tarbiah Keguruan UIN Ar-Raniry, Yuni Setia Ningsih. [Foto: Ist]  

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Pendidikan Guru Madrasah Ibtiyah Fakultas Tarbiah Keguruan UIN Ar-Raniry, Yuni Setia Ningsih menyampaikan pekerjaan perempuan di pedesaan bukan hanya di kasur dan sumur tetapi lebih dari itu.

Yuni mengatakan bisa dibilang budaya di Aceh itu patriarki, cuma kadang-kadang lebih banyak perempuan yang bekerja, kadang seolah-olah karena perempuan di perdesaan dengan pengetahuan yang kurang jadinya kurang dihargai, pengorbanan mereka sangat berat.

Ia juga menyebut, perempuan pergi kerja misalnya ke kebun pulang dari kerjaan gotong kayu bakar, itu yang kerjakan juga perempuan. Secara fisik perempuan bagi yang komposisinya seperti itu hampir sama dengan peran laki-laki.

Jadi menurutnya pekerjaan perempuan sebenarnya bukan mengurusi anak , melakukan pekerjaan rumah saja, dan sejenisnya. 

“Kalau begitu komposisinya pekerjaan laki-laki yang dikerjakan, apa yang salah saya kurang tau, apakah pengetahuan agama dari masyarakat itu kurang atau budayanya lebih kuat, katanya pekerjaan perempuan di kasur sumur tapi nyatanya lebih dari itu,” ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Jumat (24/12/2021).

Ia juga menegaskan, jika ada anggapan pekerjaan perempuan di luar rumah itu ditolak karena menyalahi kodratnya tapi sebenarnya perempuan itu memang sudah kerja di luar rumah. Penghargaan bagi mereka mungkin perlu secara mereka tangguh walaupun secara pendidikan mereka kurang.

Lanjutnya, masyarakat dan pemerintah ingin memberikan perhatian atau apresiasi orang-orang yang gigih berusaha, orang-orang seperti itu yang seharusnya patut diperhatikan, pemerintah Aceh yang memberikan apresiasi apa saja yang penting bisa mengurangi beban mereka sehingga capek fisik itu sedikit terkurangi.

Ia menyampaikan, harusnya diberikan skill lain sehingga mau jadi peran ganda pun ia tidak sampai meratapi nasib dan takdir, pekerjaan seperti itu capek fisik bukan ilmu, jadi kenapa orang-orang di perdesaan itu kebanyakan bicaranya terlalu keras karena sudah capek secara fisik. 

“Walaupun ada mungkin berbicara lunak namunlebih banyak kerasnya, ketika anak-anak membangkan juga kita melihat dari situasi sekelilingnya, ibu-ibu yang kekurangan fasilitasi pasti pikirannya juga berat begitu juga sebaliknya, secara psikologis orang yang fisiknya berat emosinya sudah pasti tidak akan terkontrol,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda