Beranda / Berita / Aceh / Dinamika Penegakan Hukum di Aceh, Dari Pincang Aturan hingga Subjektivitas Penyidik

Dinamika Penegakan Hukum di Aceh, Dari Pincang Aturan hingga Subjektivitas Penyidik

Sabtu, 11 September 2021 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia. [IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia menilai dinamika penegakan hukum pada periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini banyak terjadi kepincangan aturan serta arogansi dalam penegakan hukum. 

Ia melanjutkan, terdapat dua kategori yang tumpang-tindih sering menjadi fenomena penegakan hukum saat ini, diantaranya ialah kasus-kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan secara mediasi malah justeru didorong ke pengadilan. 

Sebaliknya, kasus-kasus yang notabenenya wajib diproses secara hukum malah kemudian dimediasikan.

Serupa juga di Provinsi Aceh, fenomena ketimpangan hukum ini juga ikut merambah dalam mewarnai dinamika penegakan hukum di tanah rencong. 

Coretan tinta di kanal media menjadi sejarah baru pada beberapa kasus di Aceh yang menggambarkan bagaimana kisah pelik nan mengharukan yang dialami para korban sehingga ikut menjadi musabab dari pergelokan batin para praktisi hukum untuk menjerit.

Sebagai advokat aktif, Syahrul Putra Mutia mencontohkannya seperti kasus-kasus kekerasan seksual. Di beberapa bulan yang lalu, Polres Pidie Jaya pernah meng-SP3 kan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) untuk menghentikan kasus kekerasan seksual. 

Padahal, kata Syahrul, hasil visum jelas membuktikan bahwa telah terjadi kasus pemerkosaan. Namun dari pihak penyidik, meminta korban untuk menghadirkan bukti. 

“Kan aneh ini. Masak pembuktian disuruh sama korban. Ketika korban bilang, pelakunya adalah dia (ditunjuk oleh korban). Namun, setelah terang benderang siapa pelakunya, kemudian polisi di surat SP3 nya malah menyebutkan bahwa ‘tidak ada yang mampu membuktikan kalau kelamin yang diduga inilah pelakunya, begitu,’” ujar Syahrul kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Sabtu (11/9/2021).

Perihal contoh kasus SP3 untuk kasus kekerasan seksual di Pidie Jaya ini, kata Syahrul merupakan fenomena yang sangat sukar diterima akal sehat. Karena, selama ia berkecimpung dalam dunia advokat, belum pernah ia menemukan kejadian-kejadian SP3 seperti kasus kekerasan seksual di Pidie Jaya itu.

Sementara di kasus yang lain, ungkap Syahrul, terdapat juga kasus kekerasan ringan antara nelayan dengan Kelompok Masyarakat Adat Pengawas Laut di Simeulue. Berdasarkan kronologisnya, kelompok pengawas laut ini menemukan nelayan yang melanggar hukum adat di wilayah konservasi laut sehingga terjadilah adu jotos. 

Namun, di penghujung cerita, kelompok Pengawas Laut yang berjumlah lima orang ini diputuskan dimasukkan ke bilik jeruji besi oleh pengadilan selama 3 tahun setengah dengan tuduhan penganiayaan. 

“Padahal ini ranah adat yang seharusnya bisa diselesaikan di tingkat adat. Lagian kelompok adat Panglima Laot ini sedang menjalankan tugas negara dalam menjaga wilayah konservasi laut. Namun, tetap diproses sehingga putusan pengadilan 3 tahun setengah ditetapkan,” jelas Syahrul.

Menilik dari contoh kasus ini, kata Syahrul, memperlihatkan bagaimana ketimpangan dalam penegakan hukum di Aceh. Kasus yang sebenarnya layak diselesaikan di luar pengadilan malah tetap dipaksakan untuk disidang, namun di lain sisi ada kasus yang tidak layak diselesaikan di luar pengadilan malah dihentikan kasusnya.

Azas Praduga Tak Bersalah

Mengenai fenomena seringnya kasus-kasus pemerkosaan yang diubah status dari korban berubah status menjadi pelaku, Syahrul mengatakan, fenomena ini muncul akibat mis-persepsi aparat penegak hukum.

Menurut penilaian Syahrul, aparat penegak hukum di Aceh saat ini masih belum tuntas dalam melihat bagaimana sebuah kasus.

Ia mencontohkan seperti kasus seorang adik yang mengajak teman-temannya untuk memperkosa kakaknya di Sigli. Dari hasil penyidikan, penyidik menyebut bahwa korban (kakak) juga akan diproses secara hukum sebagai pelaku.  

Bahkan, ungkap Syahrul, Kasatreskrim Polres Pidie menyebutkan bahwa pada saat pemerkosaan ini pertama kali dilakukan, perbuatan itu dilakukan secara terpaksa. Namun, ketika perbuatan ini terjadi berulang kali, kesimpulan penyidik menganggap bahwa perbuatan mesum itu atas dasar suka sama suka karena dilihat dari sisi tidak ada perlawanan.

“Padahal kan harus dianggap dan harus diperiksa lagi. Apakah perbuatan yang kedua, ketiga dan kedelapan itu dilakukan karena di bawah tekanan, ancaman, atau apapun lah. Misalnya publikasi foto, atau hal-hal lainnya bisa diduga bahwa korban (kakak) melakukan perbuatan ini di bawah ancaman. Tetapi, pada perbuatan pertama kan polisi langsung menyimpulkan bahwa itu dengan cara dipaksa,” kata Syahrul.

Subjektivitas Tafsir Hukum

Direktur LBH Banda Aceh itu juga menilai bahwa aparat penegak hukum di Aceh saat ini masih belum mampu menafsirkan nilai yang terkandung dalam Undang-undang itu sendiri.

Seringnya, lanjut Syahrul, aparat penegak hukum ini juga menafsirkan hukum secara sepihak. Bahkan di keadaan tertentu pihak kepolisian juga bersikap selayaknya seorang hakim.

“Mereka menilai, apakah kasus ini sudah cukup bukti atau tidak. Padahal dalam KUHAP sendiri menyebutkan bahwa minimal ada dua bukti permulaan saja, maka kasus itu boleh naik. Misal bukti pertama, ada korban mengalami penderitaan. Kedua, cukup ada saksi atau keterangan visum. Selesai itu,” jelas Syahrul.

Namun pada kasus-kasus tertentu, kata Syahrul, penyidik tidak mau. Bahkan kasus kekerasan seksual pun mereka ini masih seperti belum tuntas dalam menafsirkan pemerkosaan itu seperti apa.

“Masak pada kasus pemerkosaan diminta saksi yang melihat. Aneh kan. Nggak mungkin orang melakukan pemerkosaan itu di pasar sehingga ada orang yang melihat,” kata Syahrul.

Oleh karenanya, dalam konteks ini, Syahrul menilai bahwa masih terdapat ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam menafsirkan hukum itu sendiri sehingga kerap terjadi penegakan hukum yang terkesan main-main, bercanda, atau sekedar menyelesaikan tugas.

Nilai-nilai Keadilan

Syahrul berujar, tujuan penegakan hukum tidak berhenti setelah sebuah kasus itu selesai digelar perkara. Tetapi terdapat pula nilai-nilai yang harus dicapai dalam penegakan hukum, yaitu perlindungan dan keadilan bagi korban.

Dalam kasus pemerkosaan anak, kata Syahrul, pemeriksaan keterangan saksi dari sisi korban tidak boleh dilanjutkan apabila korban masih menyimpan trauma. Setelah korban pulih dari trauma, baru pihak kepolisian bisa meningkatkan pemeriksaan secara lebih mendalam.

Namun fenomena sekarang ini, ujar Syahrul, jarang sekali polisi menunggu waktu pemulihan trauma korban. Kadang-kadang korbannya itu langsung diminta keterangan, tidak peduli apakah korban ini telah pulih atau tidak dari traumanya. 

“Jadi kita sangat berharap penegak hukum, selesai dulu lah dengan bagaimana menafsirkan hukum dan Undang-undang. Meskipun mereka ini aprat penegak hukum, mereka tetap nggak bisa subjektif. Tetap harus objektif dalam melihat suatu perkara untuk penegakan hukum,” tutup Syahrul.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda