Beranda / Berita / Aceh / Dirjen KemenkumHam Tidak Berwenang Intervensi Kasus Saiful Mahdi

Dirjen KemenkumHam Tidak Berwenang Intervensi Kasus Saiful Mahdi

Jum`at, 20 September 2019 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Nasrul Rizal, peneliti JSI. [Foto: Dok. Dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peneliti Jaringan Survey Inisiatif (JSI) Nasrul Rizal menyatakan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Pusat tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi kasus pengusutan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik yang dilakukan pihak kepolisan terhadap Saiful Mahdi. 

Nasrul menjelaskan, secara tupoksi dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.Hh-05.Ot.01.01 Tahun 2010 Tanggal 30 Desember 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkum HAM RI pada Pasal 819 disebtukan tugas Direktorat Jenderal HAM yaitu merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang hak asasi manusia.

Kemudian pada Pasal 820 Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 819, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi perumusan kebijakan di bidang hak asasi manusia; pelaksanaan kebijakan di bidang hak asasi manusia; penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang hak asasi manusia; pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang hak asasi manusia; dan pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia.

"Dalam PermenkumHam jelas diatur tupoksi dirjem Kemenkumham, disitu jelas tidak ada disebutkan kewenangan Dirjen Kemenkumham Pusat untuk meminta klarifikasi terkait proses pelaksanaan suatu tindak pidana yang diusut pihak kepolisian. Ini merupakan bentuk lain dari intervensi lembaga vertikal kepada aparatur penegak hukum secara khusus dan lembaga akademik, dalam hal ini Universitas Syiah Kuala secara umum," jelas Nasrul Rizal melalui siaran pers ke media ini, Jumat (20/9/2019).

Di sisi lain, menurut Nasrul, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Larangan seseorang melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di UU ITE diatur di Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sedangkan sanksi yang melakukan perbuatan itu diatur di Pasal 45 ayat (3) UU19/2016,:

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 disebutkan bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.

"Seseorang yang melakukan komentar di media sosial/media elektronik dalam hal ini harus lebih hati-hati dan melihat ketentuan yang dilarang dan dibatasi oleh UU ITE dan perubahannya. Perlu dipahami bahwa yang mendasari seseorang kehilangan kebebasan berpendapat ialah karena aturan yang membatasi hal tersebut," pungkas Nasrul.

Untuk diketahui, katanya, Dirjen HAM KemenkumHAM RI, pada 9 September lalu menyurati Rektor Unsyiah, Direktur Karir dan Kompetensi SDM Kemenristek Dikti RI, dan Kapolresta Banda Aceh.

Surat bernomor HAM2-HA.01.01-180 itu, Dirjen HAM KemenkumHAM RI meminta klarifikasi kepada tiga pihak tersebut terkait pelaporan Saiful Mahdi yang dituduh melanggar UU ITE.(red)

Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda