Beranda / Berita / Aceh / KAPHA Ungkap Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tak Bisa Dicegah Hanya dengan Regulasi

KAPHA Ungkap Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tak Bisa Dicegah Hanya dengan Regulasi

Selasa, 21 Desember 2021 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, Taufik Riswan Aluebilie. [Foto: Ist] 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Lagi-lagi Aceh dikejutkan dengan peristiwa kekerasan seksual terhadap anak yang menggemparkan semua pihak, kali ini motifnya luar biasa sadis dan diluar nalar. Pasalnya seorang gadis 15 tahun diduga dirudapaksa secara bergilir oleh 14 pemuda usia 17 hingga 21 tahun di Nagan Raya.

Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, Taufik Riswan Aluebilie ikut geram dan marah mendengar kasus rudapaksa tersebut. Ia menegaskan pelaku harus dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Untuk Pelaku yang masih berusia 18 tahun ke bawah, tetap perlu memperhatikan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan untuk kepentingan terbaik korban wajib semua pihak mengutamakan keselamatan dan perlindungan anak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," jelasnya kepada Dialeksis.com, Selasa (21/12/2021).

Ia menambahkan, jika merujuk pada kebijakan terbaru terkait Perlindungan Anak. Ada dua pasal yang berubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal itu adalah Pasal 81 dan Pasal 82 dan penambahan Pasal 81A dan Pasal 82A. Sebelumnya, UU No 23 tahun 2002 sudah mengalami perubahan menjadi UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

"Menerapkan ancaman pidana dengan hukum lokal yang kurang memperhatikan Undang-undang Perlindungan Anak, harus diingat, adalah bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak merupakan kekerasan serius dan kejahatan berat, kasus seperti ini masuk sebagai pelanggaran berat terhadap HAM," jelasnya lagi.

Aturan tentang anak dalam instrumen HAM dibahas sebanyak 13 pasal di dalam pasal 53 - 66 UU No 39 Tahun 1999. Dan mengenai kekerasan seksual sendiri diatur di dalam UU No 35 Tahun 2014.

Di mana pada Pasal 76C dinyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Sanksi yang dijatuhkan yakni dengan sanksi pidana berbentuk pidana penjara paling singkat adalah 5 (lima) tahun serta paling lama adalah 15 (lima belas) tahun. Disertai dengan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

Dengan dikeluarkannya, Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak, menjadi dasar penegak hukum dalam menjalankan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.

"Adanya sanksi berupa tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tidak lain adalah untuk mencegah, mengatasi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, dan memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sehingga pelaku akan berpikir panjang untuk melakukan hal tersebut," terangnya.

Taufik menjelaskan, sanksi atau hukuman berupa kebiri kimia berbeda dengan kebiri fisik. Kebiri fisik sudah dilakukan sejak zaman dahulu dengan cara memotong penis atau mengambil testis pada manusia atau binatang.

"Sedangkan kebiri kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, dengan maksud untuk menurunkan hasrat seksual dan libido pada seseorang," katanya.

Ia menerangkan, tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan atau perkosaan terhadap anak.

Hal itu diberikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dilaksanakan atas perintah Jaksa setelah berkoordinasi dengan Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial dan kesehatan.

Meskipun sudah dibentuk undang undang kekerasan seksual terhadap anak, faktanya aduan terkait kasus kekerasan seksual pun semakin meningkat. Hal tersebut membuat penyebab yang harus diselesaikan bukan hanya dari segi hukum saja.

Melainkan dari lingkup terdekat seperti keluarga, masyarakat, struktur sosial terdekat termasuk pemerintah perlu memperkuat peran pengawasan, pemantauan dan Perlindungan Anak.

Taufik mengatakan untuk korban, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah hak atas kebenaran, hak keadilan, hak pemulihan dan tidak berulang, serta hak restusi, rehabilitasi sosial dan integrasi. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda