Beranda / Berita / Aceh / Kebijakan Larangan Live Musik di Bireuen Dinilai Tak Sesuai dengan Perkembangan Zaman

Kebijakan Larangan Live Musik di Bireuen Dinilai Tak Sesuai dengan Perkembangan Zaman

Minggu, 26 Februari 2023 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Pemerhati Syariat Islam dan Sosial Politik Aceh, Teuku Muhammad Jafar Sulaiman. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Kabupaten Bireuen melalui Surat Edaran Nomor 415/199/2023 yang dikeluarkan oleh Pj Bupati Bireuen Dr. Aulia Sofyan pada Jumat (24/2/2023), melarang pelaksanaan live musik di wilayah tersebut.

Hal ini dilakukan demi mendukung Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Seni Budaya Hiburan Lainnya Dalam Pandangan Syariat Islam.

Surat Edaran tersebut juga menetapkan sebanyak 11 larangan yang harus diperhatikan oleh masyarakat di wilayah Bireuen.


Menanggapi hal itu, Pemerhati Syariat Islam dan Sosial Politik Aceh, Teuku Muhammad Jafar Sulaiman mengatakan, kalimat dari surat edaran tersebut sangat ambigu, bias, dan disharmoni untuk sebuah kebijakan.

"Kalau dari sisi judul suratnya itu larangan pelaksanaan live musik. Tapi dari 11 poin itu aturannya ambigu tidak jelas, ini sebenarnya boleh atau tidak," ujarnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Minggu (26/2/2023).

Lanjutnya, jika ditelaah dari segi bahasa, boleh ada live musik asalkan memenuhi kriteria yang disebutkan itu. Jika sebaliknya dari yang disebutkan dalam surat edaran itu berarti boleh, tapi itu tidak disebutkan keterangannya.

"Ini sangat kacau sekali bagi administrasi sebuah pemerintahan dan ini parah sekali model-model seperti ini birokrasi, dia tidak tahu yang mana subtansi, yang mana mau disampaikan, mana yang dilarang, dan mana yang dibolehkan," jelasnya.

Menurutnya, model pemerintahan seperti ini perlu ditata kembali tata bahasa tentang administrasi kenegaraan terutama menyampaikan narasi-narasi yang tidak membingungkan publik.

Di sisi lain juga, kata dia, larangan live musik ini tidak sesuai lagi dengan konteks kehidupan manusia sekarang dengan zaman yang sudah berubah total.

Ia mengibaratkan, jika suatu saat nanti Aceh ditunjuk sebagai tuan rumah menyelenggarakan event internasional seperti festival islami yang disponsori oleh negara Islam, lalu mereka pilih Aceh tempat yang cocok misalkan, tetapi pada saat pembukaan itu harus dengan live musik dengan menggunakan alat musik modern dan itu secara live.

"Nah itu bagaimana, apakah Aceh akan egois menolak konser itu yang padahal sangat bermanfaat bagi Aceh bisa meningkatkan perekonomian bisa memacu pembangunan dan bisa memperluas kerjasama dan network Pemerintah Aceh," terangnya.

Sambungnya, bagaimana jika terjadi seperti ini, maka Aceh akan menjadi boomerang karena kondisi pasti berubah dan tidak akan seperti sekarang ini.

Menurutnya, larangan live musik itu sangat bertentangan dengan prinsip kemajuan manusia dan kemaslahatan ummat yang juga sangat diagungkan dalam Islam, manusia diciptakan oleh Tuhan untuk punya daya cepat dan daya kreasi. Salah satunya yaitu seni dan budaya, syair, lagu, musik.

"Bagaimana syair-syair itu puji-pujian terhadap nabi terhadap rasul tetapi dengan menggunakan alat musik.

Kata Jafar, sebenarnya di dunia yang sedang berkembang ini, ada berbagai pendapat ada yang membolehkan dan tidak. Seharusnya Aceh bermain diantara 2 kutub ini saja, lebih baik membiarkan saja, dengan mengatur mekanisme saja seperti perlu memperhatikan kesopanan di ruang publik.

"Ketika daya cipta kreasi manusia itu dihalangi dalam seni atau syair, musik tampil di hadapan publik, maka akan terjadi ketimpangan ketidakseimbangan dan ini berbahaya bagi sebuah konteks membangun peradaban masyarakat yang maju," pungkasnya.

Lanjutnya, lama-kelamaan akan terciptanya generasi yang tidak kreatif, monoton, egosi hanya memikirkan kelompok sendiri, kepentingan sendiri dan terus menjadi generasi ekslusif. [nor]


Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda