Beranda / Berita / Aceh / Kebijakan Pemerintah Aceh Terkait Pembatasan Aktivitas Sosial Tidak Inklusif

Kebijakan Pemerintah Aceh Terkait Pembatasan Aktivitas Sosial Tidak Inklusif

Sabtu, 30 Maret 2024 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Media Briefing Audit Sosial yang dilaksanakan pada Jumat (29/3/2024) di Ivory Coffee and Culinary, Banda Aceh. [Foto: Naufal Habibi/Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 451/11286 Tentang Penguatan dan Peningkatan Pelaksanaan Syari’at Islam bagi Aparatur Sipil Negara dan masyarakat di Aceh telah menimbulkan polemik dan dinamika tersendiri di Aceh, baik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sendiri maupun masyarakat luas. 

Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri dalam acara Media Briefing Audit Sosial yang dilaksanakan pada Jumat (29/3/2024) di Ivory Coffee and Culinary, Banda Aceh.

Raihal mengatakan bahwa surat edaran tersebut antara lain memuat larangan operasionalisasi berbagai aktivitas ekonomi dan sosial termasuk penutupan jam buka warung kopi hingga jam 12 malam.

Menyikapi hal tersebut, Katahati Institute bersama Perludem sejak Oktober 2023 hingga Maret 2024 menyelenggarakan Audit Sosial terkait Kinerja Pemerintah Aceh khususnya kepemimpinan Pj. Gubernur Aceh (Achmad Marzuki). 

Studi aturan, wawancara dengan berbagai kelompok rentan, perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil, ASN (di lingkup BadanPerencanaan dan Dinas Sektoral terkait), Pelaku Usaha, dan Media Massa, serta melakukan observasi laporan media menjadi pendekatan yang dipilih dalam audit sosial ini.

Dalam proses audit sosial kinerja Pemerintah Aceh tersebut ditemukan umpan balik dari berbagai kelompok masyarakat yang memandang Surat Edaran Gubernur Aceh nomor 451/11286 tentang Penguatan dan Peningkatan Pelaksanaan Syari’at Islam bagi aparatur sipil negara dan masyarakat di Aceh lebih bersifat pembatasan dan pengekangan warga dalam beraktifitas dibanding upaya sungguh-sungguh Pemerintah Aceh untuk memperkuat penyelenggaraan Syari’at Islam yang akan mendorong tata kelola pemerintah yang bertanggung jawab.

“Pembatasan ini seakan mengulang sejarah pengengkangan masyarakat Aceh di masa lalu yang tentu saja akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk perekonomian. Bayangkan bagaimana sulitnya para pelintas antar kabupaten dan provinsi dengan moda transportasi umum yang tidaknmenemukan tempat singgah karena penutupan berbagai fasilitas istirahat tersebut”, tegas Raihal.

Raihal mengatakan bahwa secara ekonomi, larangan ini berdampak pada perlintasan moda transportasi antar wilayah yang melintasi “Aceh Lhee Sagoe” di malam hari. Pelintas dengan bus, Hiace dan L300 akan berhenti pada dini hari di berbagai warung kopi dan tempat makan untuk sekedar melepas lelah ataupun makan dan shalat. Aturan ini berpotensi menghilangkan pendapatan pelaku.

Dalam hal ini, secara sosial, SE yang meminta masyarakat tidak berdua-duaan (non muhrim) baik ditempat umum, tempat sepi maupun diatas kendaraan menuai pro dan kontra, terutama bagi kelompok pekerja informal dan kelompok disabilitas yang kerap menggunakan jasa transportasi online yang sebagian besar pengendaranya berbeda jenis kelamin dengan penumpang.

Selain itu, kebijakan peningkatan pengawasan terhadap televisi dan radio untuk tidak memuat isi yang tidak sesuai dengan norma agama dan adat istiadat Aceh juga menuai catatan khusus karena Aceh sebelumnya dalam masa darurat militer juga pernah terjadi pembatasan terhadap pemberitaan media. 

"SE ini tidak menjelaskan dengan lugas batasan norma-norma dan adat yang dimaksud sehingga bisa berdampak pada intervensi kebebasan pers," ujarnya. 

Ketua Komisi V DPRA Aceh, M. Rizal Falevi menganggap Pj Gubernur Aceh saat itu, Ahmad Marzuki mengeluarkan kebijakan yang cenderung tidak objektif. 

Hal ini menyebabkan tanggapan yang kontradiktif serta menurutnya, Pemerintah Aceh cenderung menerbitkan kebijakan yang multi tafsir.

Senada dengan itu, Aulianda Wafisa, Direktur LBH Banda Aceh menyebutkan bahwa SE ini merupakan penyelewengan kekuasaan yang dimiliki oleh PJ Gubernur saat itu, bukan.kewenangan PJ Gubernur sampai harus mengatur pengajian. 

Meskipun SE ini terbit bagian dari mempertegas aturan yang sudah ada sebelumnya. Seharusnya SE ini harus beranjak dari landasan filosofis, sosiologis dan juga yuridis, namun ketiga hal ini jika dikaji lebih lanjut tidak ada dalam SE ini.

Di sisi lain, Erlin, perwakilan kelompok disabilitas Children and Youth Disabilities for Change (CYDC) Aceh menyebutkan bahwa SE ini berdampak pada keseharian kelompok disabilitas jika diterapkan karena mengatur tentang non-muhrim yang tidak boleh berdua-duaan.

"Sebagaimana diketahui bahwa teman-teman disabilitas seperti dirinya akan selalu membutuhkan pendampingan orang lain saat beraktivitas apakah dengan menggunakan fasilitas kendaraan umum maupun dalam beraktivitas lainnya," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda