Beranda / Berita / Aceh / KKR Aceh Apresiasi Kebijakan Presiden Jokowi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

KKR Aceh Apresiasi Kebijakan Presiden Jokowi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

Sabtu, 24 Juni 2023 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya, SH.MHum


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya, SH.MHum, menyampaikan penghormatan terhadap kebijakan Presiden Republik Indonesia terkait tiga peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu di Aceh. 

Masthur Yahya juga mengapresiasi tindak lanjut pemulihan korban yang saat ini dilakukan oleh tim lintas kementerian. Dia menekankan bahwa KKR Aceh memberikan penghormatan yang tinggi terhadap kebijakan Presiden RI terkait pelanggaran HAM berat di Aceh. Keberanian untuk mengungkap dan menangani masa lalu yang kelam ini merupakan langkah penting dalam upaya memulihkan keadilan dan mewujudkan rekonsiliasi di Aceh.

Selain itu, Masthur Yahya juga mengungkapkan apresiasinya terhadap tindak lanjut pemulihan korban yang dilakukan oleh tim lintas kementerian. Upaya ini menunjukkan komitmen nyata dari pemerintah dalam mendukung korban-korban pelanggaran HAM berat dan memberikan mereka akses keadilan dan pemulihan yang pantas.

“Pandangan KKR sepatutnya juga bekas atau jejak bangunan Rumoh Geudong sebagai salah satu tempat peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut tetap dapat “dikenali” sebagai memorial walau sedikit yang tersisa, kalau di lokasi tersebut nanti akan dibangun bangunan baru apapun namanya, apakah berupa Taman Kehidupan, Meusium HAM atau sarana lain yang bermanfaat bagi ahli waris korban maupun masyarakat setempat, perlu dimusyawarahkan dengan korban, elemen masyarakat sipil tingkal lokal maupun nasional, bahkan masyarakat internasional,” kata Masthur Yahya dalam siaran pers yang diterima DIALEKSIS.COM, Sabtu (24/6/2023).

Menurut Masthur Yahya, meskipun hanya tersisa dinding atau tangga bangunan rumah , namun pada saat dibangun bangunan baru bisa disiasati oleh tukang bangunan agar kepingan atau tembok sisa bangunan rumoh gedong tersebut tetap menjadi penanda renungan kisah pilu masa lalu yang tidak boleh terulang kembali sampai kapanpun. 

“Sisa bagian bangunan rumoh geudong penting diabadikan sebagai sebuah memorialisasi, tujuannya bukan untuk mengungkit luka lama, bukan pula untuk membangkitkan kembali trauma, tapi sebagai “muhasabah” atas apa yang pernah terjadi dimasa lalu untuk pelajaran dimasa kini,” katanya. 

“Jaminan ketidakberulangan adalah tanggungjawab semua pihak, maka penting untuk memiliki “titik simbolik” tanda pengingat bersama semisal rumoh gedong. Apalagi dari tahun ke tahun selama ini di lokasi rumoh geudong sudah berkali-kali diadakan berbagai acara peringatan, kenduri, doa bersama, oleh komunitas korban untuk mengenang keluarganya (korban), pegiat HAM ditingkat lokal maupun nasional juga beberapa kali pernah memfasilitasi komunitas korban untuk acara doa bersama, pemberdayaan atau pemulihan korban yang juga turut dihadiri oleh lembaga negara seperti Komnas HAM maupun unsur pemerintah setempat,” katanya. 

“Lokasi Rumoh Geudong tersebut sudah bisa dianggap sebagai situs atas bukti kejadian masa lalu. Memorialisasi tidak bermakna sebagai stigma negative atau keberulangan tuduh menuduh atas kejadian masa lalu, bukan untuk menyudutkan pihak tertentu dimasa kini, tetapi sebagai pelajaran batin, sebagai nasehat kolektif para pihak yang terlibat dalam konflik masa lalu, terlebih penting lagi adalah memorialisasi sebagai “pelajaran sejarah” bagi Generasi Aceh Masa Depan selaku Pemangku Warisan Perdamaian,” demikian kata Ketua KKR Aceh Masthur Yahya.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda