Beranda / Berita / Aceh / Langkah Jokowi Dinilai Berikan Impunitas Bagi Pelaku Pelanggaran HAM di Aceh

Langkah Jokowi Dinilai Berikan Impunitas Bagi Pelaku Pelanggaran HAM di Aceh

Jum`at, 23 Juni 2023 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPPHAM) oleh Presiden Jokowi dinilai melanggengkan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat masa lalu, termasuk di Aceh. 

Pesan ini disampaikan oleh Direktur YLBHI - LBH Banda Aceh, Syahrul, S.H., M.H kepada Dialeksis.com, Jumat (23/6/2023).

"Dari awal, pembentukan TPPHAM oleh Presiden Jokowi terlihat jelas, bahwa ini kebijakan yang melanggengkan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat masa lalu, termasuk di Aceh," ujarnya.

Syahrul mengatakan bahwa dugaan ini didukung dengan tidak adanya pengungkapan kebenaran terkait pelaku-pelaku dari peristiwa-peristiwa yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh TPPHAM. Dalam hal ini, tentunya tidak melahirkan rekomendasi apa pun berkaitan dengannya. 

"Peristiwanya jelas, korbannya jelas, pelaku tidak terungkap sama sekali," ujarnya.

Menurutnya, hal ini ditambah lagi dengan sedang berlangsungnya penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong sebagai tempat terjadinya pelanggaran HAM berat oleh pemerintah daerah. 

Pemerintah secara terang benderang telah menghancurkan, merusak dan menghilangkan situs penting yang semestinya bisa menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial, dalam hal ini pengadilan HAM. 

Upaya penghancuran sisa fisik bangunan yang sedang berlangsung di Rumoh Geudong adalah upaya negara untuk menghilangkan barang bukti fisik pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi di lokasi tersebut.

"Ini adalah satu sikap sistematis dan terencana negara dalam memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM Berat," ujarnya.

Syahrul mengatakan bahwa pembentukan tim TPPHAM menunjukkan, ketiadaan upaya negara untuk mencapai aspek kepastian hukum dalam tugas dan fungsi Tim PPHAM.

Tentunya ini berakibat pada keberlanjutan impunitas bagi orang atau kelompok yang diduga keras telah melakukan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat telah jelas mekanisme penyelesaiannya, yaitu melalui pengadilan HAM. 

Jika alasan pembentukan Tim PPHAM ini untuk mempercepat pemulihan bagi korban, seharusnya pemerintah justru mengedepankan adanya peradilan HAM untuk memeriksa kasus-kasus yang telah terjadi. 

Hal ini sejalan dengan upaya Komnas HAM yang telah melakukan penyelidikan untuk kasus-kasus tersebut. 

"Seharusnya yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam merespon temuan komnas HAM adalah mendorong percepatan pembentukan pengadilan HAM, agar keempat elemen penting hak korban bisa terpenuhi, yaitu hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum (pengadilan), pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda