Beranda / Berita / Aceh / Penegak Hukum Dinilai Diamkan Kasus Dugaan Mark-up SPPD DPRK Aceh Tamiang

Penegak Hukum Dinilai Diamkan Kasus Dugaan Mark-up SPPD DPRK Aceh Tamiang

Rabu, 20 Oktober 2021 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Direktur LSM Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat (PAKAR) Aceh, Muhammad Khaidir. [Foto: Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur LSM Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat (PAKAR) Aceh, Muhammad Khaidir ikut menanggapi terkait dengan kasus dugaan mark-up Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang senilai Rp8,7 miliar.

Khaidir menilai aparat penegak hukum terkesan mendiamkan kasus ini atau mempetieskan kasus.

"Untuk itu, semua pihak wajib mengawal proses ini dan menjadikan gerakan bersama hingga tuntas," ujar Muhammad Khaidir kepada Dialeksis.com, Rabu (20/10/2021).

Khaidir meminta agar ada supervisi yang dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terhadap kasus SPPD Fiktif DPRK Aceh Tamiang.

"Kasus ini terkesan sudah berlarut-larut sampai sekarang belum tuntas karena ini merupakan laporan dari masyarakat. Dalam hal ini Kepolisian punya tanggung jawab besar karena anggaran rakyat yang harus dituntaskan," jelasnya dengan rasa kesal.

Sebelumnya, Praktisi Hukum Hermanto meminta Polres Aceh Tamiang untuk menyampaikan perkembangan penanganan terkait dengan kasus Mark Up tersebut. Sehingga publik mengetahui perkembangan kasus tersebut, berapa orang saksi-saksi yang diperiksa. Apakah kasus tersebut memenuhi unsur tindak pidana korupsi atau bahkan kasus tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

"Jadi hal-hal demikian harus diperjelas oleh aparat penegak hukum di Aceh Tamiang, agar tidak menimbulkan prasangka-prasangka yang tidak baik antara masyarakat dan penegak hukum," jelasnya.

Kemudian, Hermanto menjelaskan, terkait dengan Pasal yang dapat dikenakan kepada pelaku dugaan Mark up SPPD adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, "(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Atau Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.


Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda