DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peneliti rawa gambut, Monalisa Aurora, mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir kondisi gambut Aceh mulai menunjukkan perbaikan berkat berbagai program restorasi. Namun, tantangannya tidak sederhana.
"Kondisi gambut di Aceh hari ini sudah mengalami perbaikan. Banyak program restorasi digulirkan, tetapi belum merata karena keterbatasan dana dan SDM," ujar Monalisa kepada media dialeksis.com, Rabu (30/7/2025).
Sebagai akademisi yang aktif meneliti dan mendampingi masyarakat di kawasan gambut, Monalisa menekankan pentingnya pendekatan yang tidak hanya ekologis tetapi juga ekonomis.
Menurutnya, narasi bahwa lahan gambut tidak bisa dimanfaatkan adalah keliru. Justru, jika dipahami dengan benar, lahan gambut dapat menjadi sumber penghidupan berkelanjutan.
"Gambut adalah tanah yang spesifik. Ia tidak sama dengan tanah mineral biasa. Tapi bila kita tahu cara mengolahnya dan memahami karakteristiknya, petani bisa mendapatkan penghasilan," jelasnya.
Ia mencontohkan keberhasilan awal di Desa Rukun Dame, Kecamatan Babahrot, Aceh Barat Daya, di mana sejumlah petani mulai mencoba alternatif pertanian di atas lahan gambut.
Menurut Monalisa, ketergantungan masyarakat pada sawit sebenarnya lebih karena alasan praktis dan ekonomi jangka pendek.
Sawit dianggap mudah dirawat dan memiliki rantai pasok yang jelas. Namun, ketergantungan ini membawa dampak ekologis yang signifikan, terutama di lahan gambut.
"Restorasi gambut harus dibarengi dengan aspek ekonomi. Tanpa itu, masyarakat tidak akan tertarik untuk menjaga gambut. Kita harus berikan alternatif selain sawit," seru Monalisa.
Ia juga menekankan perlunya upaya serius pemerintah daerah dalam membimbing dan mendampingi masyarakat untuk memahami potensi lain dari lahan gambut, seperti tanaman hortikultura atau komoditas yang sesuai dengan karakteristik tanah gambut yang asam dan berpori.
Kerusakan terbesar lahan gambut di Aceh masih berasal dari kebakaran. Selain menghanguskan vegetasi dan menyebabkan penurunan permukaan tanah (subsidence), kebakaran juga memusnahkan mikroba pengurai dan satwa khas gambut.
"Kalau gambut terbakar, bukan cuma tanahnya yang rusak. Mikroba, hewan-hewan kecil, ular, hingga biodiversitas tumbuhan ikut lenyap," katanya.
Salah satu cara utama untuk mencegah kebakaran adalah menjaga kelembaban gambut melalui rewetting atau pembasahan kembali lahan gambut dengan membuat sekat kanal yang mengatur tinggi muka air.
"Kita bangun sekat kanal bersama masyarakat dan pemerintah. Tapi setelah dibangun, tidak ada perawatan. Banyak yang sudah rusak dan tidak berfungsi lagi," kata Monalisa yang juga menjadi koordinator Simpul Pantau Gambut Aceh.
Dari hasil investigasi mereka di dua Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Aceh Barat dan Aceh Jaya terungkap banyak sekat kanal yang rusak dan perlu perbaikan segera.
Monalisa menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa disalahkan begitu saja. Banyak dari mereka terlahir dan besar di atas lahan gambut, tanpa pernah mendapat cukup pengetahuan cara mengelolanya. Di sisi lain, sebagian masyarakat masih menganggap gambut sebagai kutukan.
"Saya selalu bilang di lapangan, ini bukan kutukan. Yang kurang adalah pengetahuan. Kita harus belajar menetralkan pH tanah gambut yang asam, misalnya dengan menambahkan kapur. Itu bisa membuka jalan untuk budidaya tanaman yang lebih sesuai," terang Monalisa.
Ia mengajak lebih banyak akademisi dan peneliti di Aceh untuk terlibat aktif mengkaji gambut dari berbagai aspek: mulai dari ekologi, sosial-ekonomi, hingga biodiversitas.
"Kita punya lahan gambut yang luas, tapi pemanfaatannya masih minim. Pemerintah harus mulai melihatnya sebagai aset, bukan beban. Restorasi tanpa kesejahteraan tidak akan bertahan," pungkas akademisi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh tersebut.[nh]