Beranda / Berita / Aceh / Pro Kontra Penetapan PKPU Nomor 20 Tahun 2018

Pro Kontra Penetapan PKPU Nomor 20 Tahun 2018

Selasa, 03 Juli 2018 20:03 WIB

Font: Ukuran: - +


Dialeksis.com - Muhammad Husaini Dani, sekretaris DPM FISIP Universitas Syiah Kuala mengatakan, dengan ditetapkannya Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten atau kota, pada Sabtu 30 Juni 2018 maka secara langsung aturan yang terdapat didalamnya dapat dijalankan dan diterapkan pada masa pendaftaran bakal caleg yang akan datang. Yang menjadi point penting dan krusial dalam rancangan terakhir PKPU tersebut larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg tertuang pada pasal 7 ayat 1 huruf (j). Aturan ini berbunyi 'bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah WNI dan harus memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi

"Tentunya hal tersebut menuai pro kontra di berbagai kalangan mulai dari partai politik, pejabat, akademisi, bahkan masyarakat. Siapa pun boleh setuju atau boleh tidak dengan sikap KPU dalam mengatur mengenai ketetapan tersebut. Secara garis besar bisa kita melihat bahwa rancangan yang dibuat KPU dalam PKPU tersebut merupakan suatu langkah yang positif, semua orang menyadari sudah 20 reformasi namun cita cita untuk dapat memberantas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) belum sempurna, sehingga langkah yang diambil oleh KPU dengan menerapkan aturan baru tersebut membuka jalan untuk dapat memberantas KKN mulai dari pelaksanaan pemilu yang bersih" Kata Muhammad Husaini Dani .

Menurutnya lagi, tampaknya KPU juga perlu mengulas lebih lanjut mengenai ketetapan dalam PKPU yang dikeluarkannya sebab justru aturan baru yang ditetapkan dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 ini telah mengkerdilkan dan mendiskriminasi hak asasi manusia".

Muhammad Husaini Dani menjelaskan, seperti yang kita ketahui setiap warga negara memiliki hak-hak nya yang harus dijaga dan dijunjung tinggi oleh negara salah satunya ialah hak politik yang dimilikinya yaitu hak memilih dan dipilih yang tercantum didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jelas bila kita berpijak pada aturan dasar negara ini maka sejatinya hak memilih dan hak dipilih merupakan suatu hak yang melekat dan mutlak ada di setiap individu masyarakat Indonesia tidak terkecuali.

"Bila KPU tetap ingin menerapkan aturan tersebut maka sejatinya PKPU yang dikeluarkan oleh KPU bertentangan dengan azas lex superior derogate legi inferior dimana hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah ini menandakan bahwa hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi" kata Dani.

Dani beranggapan bahwa disini KPU tidak berhak untuk mencabut hak politik seseorang karena bukan wewenang dan tugas daripada KPU. "Hak politik hanya bisa dicabut atas dasar alasan tertentu dan dengan putusan pengadilan yang bersifat hukum tetap, seperti yang terjadi pada kasus suap penanganan sengketa pilkada terpidana Akil Mochtar" Pungkas Muhammad Husaini Dani.

Lebih lanjut Dani menjelaskan, dengan diberlakukan nya ketetapan PKPU yang baru baru saja dikeluarkan KPU artinya KPU telah melangkahi tugas dan wewenang pengadilan yang semestinya bukan menjadi tugas dan wewenang KPU secara jelas. "Sebab, barangkali caleg yang menjadi mantan terpidana kasus korupsi ini memang pernah dijatuhi vonis penjara oleh pengadilan namun tidak dicabut hak politik nya" Ujar Dani.

Sambungnya, tentu bila melihat secara legalitas hukum maka si mantan terpidana korupsi masih berhak untuk dapat maju dan bertarung dalam Pemilu nantinya sehingga tidak ada alasan bagi KPU untuk melarang dan memboikot keinginan si mantan terpidana korupsi ini untuk mendaftar caleg.

Menurutnya lagi, tampaknya juga terjadi kelabilan di dalam tubuh KPU itu sendiri dimana KPU disatu sisi ingin menerapkan larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk mendaftar sebagai caleg secara jelas dan terang benderang dalam Pasal 7 ayat 1 huruf (J) namun ternyata KPU juga menetapkan aturan lainnya yang terdapat di pasal 240 yang mengatur tentang persyaratan bakal balon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Bunyi ayat 1 huruf (g), yakni bakal caleg harus memenuhi syarat 'tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Sambung dani, isi kedua pasal ini jelas memperlihatkan ketidakkonsistenan pihak KPU dalam menetapkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten atau kota, "jika memang KPU ingin tegas dalam mewujudkan aspirasi reformasi yang selama ini belum diwujudkan secara sempurna yaitu memberantas KKN maka pihak KPU seharusnya tegas dalam membuat ketetapan tersebut tanpa memberi celah jalan lain kepada mantan terpidana korupsi untuk dapat mendaftar sebagai caleg" Ujar Dani.

Senada dengan hal tersebut Dani juga mengatakan "tidak perlu adanya larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk mendaftar caleg karena sejatinya hak memilih dan dipilih merupakan hak yang harus dijaga dan dijunjung tinggi oleh negara terkecuali bagi orang-orang yang hak politiknya telah dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap."

Sambungnya, "Sebaiknya track record dari bacaleg mantan terpidana korupsi ini nantinya dibuka dan dipublikasikan kepada khalayak agar masyarakat yang dapat menilai dan menentukan pilihannya masing-masing. Kita percaya bahwa masyarakat Indonesia sudah cerdas dapat menentukan mana yang baik dan tidak bagi negaranya." (rel)

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda