Beranda / Berita / Aceh / Produksi Sawit Malaysia Menurun, Fadhli: Peluang untuk Indonesia

Produksi Sawit Malaysia Menurun, Fadhli: Peluang untuk Indonesia

Minggu, 17 April 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar



Foto: RMOLaceh.id.


DIALEKSIS.COM | Aceh - Turunnya produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit serta produksi Crude Palm Oil (CPO) di Malaysia diharapkan dapat menjadi momentum dan peluang pasar bagi Indonesia.

Ungkapan ini disampaikan Sekretaris Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Aceh, Fadhli Ali  dalam keterangannya kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Minggu (17/4/2022).

“Peluang tersebut dapat diraih dengan baik apabila Indonesia memaksimalkan untuk meningkatkan produksi kelapa sawit nasional. Saat ini, Indonesia memproduksi CPO sekitar 54 juta ton,” ujar Fadhli Ali Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) NasDem Aceh.

Fadhli menyatakan, dalam jangka pendek upaya pemerintah meningkatkan produksi sawit nasional dapat didorong melalui upaya peningkatan alokasi anggaran untuk Sarana dan Prasarana (Sarpras) produksi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS).

BPDPKS sendiri merupakan unit organisasi noneselon di bidang pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.

Selain itu, kata dia, peningkatan SDM bidang kelapa sawit juga terdapat mandat lain dari lembaga tersebut. Pertama, membiayai program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau yang dikenal juga dengan istilah program replanting (pindah tanam). Kedua, program sarpras.

Menurut Fadhli, program sarpras inilah yang harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah apabila ingin jika dalam jangka pendek (6 bulan “ 1 tahun) sudah berdampak pada peningkatan produksi sawit.

Tak kalah penting, Wakil DPW NasDem Aceh itu menyatakan, program PSR juga sangat penting untuk jangka panjang. Program PSR ialah tanaman sawit yang sudah tidak produktif akan ditumbangkan dan ditanam baru dengan bibit bagus yang nanti bisa menghasilkan kelapa sawit berkualitas tinggi.

“Namun yang menjadi tantangan dari program PSR ialah hasilnya baru akan tampak selama empat tahun kemudian,” ungkapnya.

Berbeda dengan program sarpras, kata Fadhli, program tersebut akan fokus pada penyediaan sarana dan prasarana untuk tanaman sawit yang sudah berusia di atas 3 tahun.

Akan tetapi, bila lahan masyarakat ada yang tidak tersedia drainase yang bagus, akses jalan yang layak serta keterbatasan kemampuan petani juga yang menjadi pemicu kurangnya upaya merawat kelapa sawitnya.

Melalui program sarpras, lanjutnya, BPDPKS bisa menyediakan dukungan anggaran untuk pemupukan, penyediaan drainase, jalan akses ke kebun, dan juga penyediaan alat panen dan pasca panen.

“Bila program sarpras diimplementasikan, maka dalam waktu 6 bulan “ 1 tahun, maka akan terjadi peningkatan produksi sawit nasional yang kepemilikannya berbasis rakyat,” terang Fadhli.

“Permasalahannya, dana untuk program PSR saja jumlahnya mencapai 5-6 triliun per tahun. Sementara dana sarpras hanya 600 milyar saja se-Indonesia. bahkan, tahun lalu besaran anggaran untuk sarpras malah hanya 200 milyar saja,” tambahnya lagi.

Oleh karena itu, merespons peluang pasar yang akan cenderung naik ke depan ditambah dengan kabar produksi sawit serta CPO Malaysia yang mulai menurun, Fadhli Ali berharap agar pemerintah memanfaatkan momentum tersebut dengan meningkatkan anggaran pada program sarpras di BPDPKS untuk produksi kelapa sawit rakyat.(Akhyar)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda