Beranda / Berita / Aceh / Soal Sekda jadi PJ Kepala Daerah, Pakar Hukum Harap Tidak Hanya Akomodatif Bagi Atasan

Soal Sekda jadi PJ Kepala Daerah, Pakar Hukum Harap Tidak Hanya Akomodatif Bagi Atasan

Kamis, 20 Mei 2021 15:42 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : ASYRAF

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Akmal Malik kepada media beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa Sekretaris Daerah direncanakan akan diangkat Penjabat (Pj)  Bupati atau Wali Kota apabila di daerah dilakukan jika Pilkada digelar 2024, atau daerah tersebut kepala daerahnya merupakan hasil pilkada 2017 dan 2018 yang masa jabatan mereka habis pada tahun 2022 dan 2023.  

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 point 9. Dalam UU tersebut, kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota diisi oleh penjabat (Pj) sampai terpilihnya kepala daerah dalam Pemilihan Serentak nasional 2024. Selain itu direncanakan Penjabat (Pj) kepala daerah memiliki kewenangan penuh sehingga tak mengganggu kinerja pemerintah daerah.

Akademisi dan ahli hukum tata negara, Zainal Abidin SH, M.Si menyebut apabila PJ menjabat hingga dua tahun berpengaruh terhadap legitimasi birokrasi pemerintahan. Terlebih apabila dilhat dari spektum sosial politik.

“Apabila memang pemerintah berhendak menggabungkan Pilkada Aceh dengan Pilkada serentak nasional tahun 2024, maka kekosongan kekuasaan (vacum of power) terjadi mulai medium 2022 akan diisi oleh Penjabat Gub/Bub/Walikota. penjabat dimaksud bisa saja menjabat bahkan mungkin sampai 2 tahun/lebih. Untuk Pj Gub Aceh apakah diangkat Sekda Taqwallah atau siapapun pejabat birokrasi lainnya. Melihat lamanya masa jabatan Pj, kondisi ini tentu mempengaruhi legitimasi.  Seorang Pj secara kekuasaan formal boleh saja legitimate namun secara sosial politik tidak memiliki legitimasi karena kekuasaan yang dipegang tidak berasal dari rakyat” jelas Zainal kepada DIALEKSIS.COM , Kamis (20/5/2021).

Selain itu zaenal juga menilai  Sudah barang tentu berbeda ketika penyelenggaraan pemerintahan oleh Pj, dibandingkan dengan penyelenggaraan pemerintahan oleh Kepala Daerah definitif.

“Pj selain keterbatasan  wewenang, dalam hal politik pembangunan Pj potensial cenderung akomodatif pada atasan yang menunjuknya, ketimbang rakyat yang tidak pernah memilihnya.Skema ini juga akan berimplikasi pada sistem kawal-imbang antara eksekutif dan legislatif daerah” tukasnya.                              

Lebih lanjut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini mengakui terhadap pandangan yang menilai   Pj lebih efektif dalam menjalankan roda pemerintahan dari pada Kepala Daerah definitif. Disebabkan Pj sebagai birokrat yang sudah puluhan tahun mengenal dan menjalankan birokrasi pemerintahan.

Namun menurutnya,  perlu juga disanding dengan teori yang dikemukakan oleh Max Weber bahwa birokrasi itu dibentuk independen dari kekuatan politik dan birokrasi pemerintahan diposisikan sebagai kekuatan yang netral. berbeda dengan itu, Karl Marx menyatakan keberadaan birokrasi pemerintahan memihak kepada kekuatan politik yang memerintah.

“Jadi kehidupan birokrasi tidak mungkin dipisahkan dengan politik. Bangunan Postulat dalam konteks banyaknya Pj yang notabene pejabat birokrasi pemerintahan bahwa terbuka ruang politisasi birokrasi yang bertaut politik.semoga tidak” pungkas Zainal. (ASY)


Keyword:


Editor :
Teuku Pondek

riset-JSI
Komentar Anda