Beranda / Berita / Aceh / Teka-teki Nasib KPPAA Belum Berujung, Akademisi Minta Jangan Dibubarkan Secara Sepihak

Teka-teki Nasib KPPAA Belum Berujung, Akademisi Minta Jangan Dibubarkan Secara Sepihak

Rabu, 01 Desember 2021 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Dosen FH USK, Zainal Abidin, SH. MSi, MH [Foto: IST] 

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Zainal Abidin SH. MSi. MH ikut menanggapi perihal Polemik yang terjadi pada Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) belum ada ujungnya. Lembaga independen itu diisukan akan dibubarkan karena dianggap tumpang tindih Tupoksi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak  (UPTD PPA).

Masa kerja Komisioner Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) periode 2017-2022 akan berakhir pada Januari 2022. Jika dilihat berdasarkan tanggal pelantikan, Komisiner KPPAA akan berakhir pada 27 Februari 2022.

Namun sampai akhir November 2021 ini belum ada tanda-tanda dimulainya proses pembentukan panitia seleksi (Pansel) Komisioner KPPAA periode 2022-2027 oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh (DP3A).

Zainal mengatakan kondisi persoalan anak saat ini semakin rumit, maka kepentingan akan pengawasan dan perlindungan anak menuntut perhatian yang lebih serius dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini, maka keberadaan lembaga pengawasan dan perlindungan anak semakin urgen atau terdesak.

"Pentingnya kelembagaan ini, sehingga keberadaannya dibackup mulai dari Undang-undang sampai ke Qanun," jelas Zainal kepada Dialeksis.com, Rabu (1/12/2021).

Lanjutnya, dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2008 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa dalam rangka peningkatan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak di Aceh dibentuk Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA).

Zainal melihat dinamika persoalan anak yang amat dinamis di Aceh, maka keberadaan KPPA tidak boleh dilemahkan apalagi dibubarkan.

"Terkait dengan duplikasi fungsi dan peran UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak, tinggal diatur saja wewenangnya masing masing secara proporsional," terangnya.

Ia menerangkan, apabila dihadapkan dengan pilihan diantara keduanya, maka KPPA memiliki kualifikasi legalitas yang lebih kuat dan tinggi karena KPPA perintah peraturan perundang-undangan dari pada UPTD Perlindungan Perempuan dan anak.

"Kaitan dengan kata/frasa dapat dibentuk lembaga pengawasan dan perlindungan dalam peraturan perundang-undangan, dalam terminologi hukum harus dilihat bagaimana frasa tersebut selama ini diartikulasikan. Faktanya hampir disemua daerah di wilayah NKRI terdapat lembaga ini," jelasnya lagi.

Artinya, kata dia, kata/frasa dapat dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan membentuk lembaga pengawasan dan perlindungan anak. Sehingga menjadi konvensi untuk terus dibentuk sepanjang masih fungsional.

Untuk itu, ia menegaskan, KPPAA tidak bisa dibubarkan atau dibentuk sesuai kemauan otoritas kuasa resmi (DP3A).

"Konon KPPA sebagai lembaga publik tidak bisa direview keberadaannya secara sepihak. Semestinya peraturan perundangan dihormati dengan segera membentuk Pansel pemilihan komisioner KPPA mengingat KPPA yang ada akan berakhir awal Januari 2022," pungkasnya.


Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda