Beranda / Berita / Aceh / TNI Perlu Fokus Pada Pencegahan Terorisme Bersama BNPT

TNI Perlu Fokus Pada Pencegahan Terorisme Bersama BNPT

Rabu, 21 Oktober 2020 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto bersama usai diskusi virtual bertema Menimbang Keterlibatan TNI dalam Penindakan Terorisme di Indonesia. [IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jaringan Survei Inisiatif (JSI) dan Analisa Demokrasi Institute (ADI) sebagai sebuah wadah kajian yang peduli terhadap isu demokrasi, menggelar diskusi publik secara virtual bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada Rabu (21/10/2020).

Diskusi publik bertema “Menimbang Keterlibatan TNI dalam Penindakan Terorisme di Indonesia” itu mengahadirkan 3 narasumber pakar yakni : Dr. Otto Syamsuddin Ishak (Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah), Ikhsan Yosarie (Peneliti Setara Institute), dan Dr. M. Gaussyah, SH., M.H (Dosen Fakultas Hukum Unsyiah).

Pemateri, Dr M Gaussyah SH M.H yang juga Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dalam webinar itu menyampaikan, di Indonesia, penanganan terorisme masuk dalam kategori tindak pidana, yang ditangani oleh sistem penegakan hukum pidana terintegrasi (integrated criminal justice system), sehingga TNI tidak mungkin masuk dalam ranah ini.

"Saya setuju TNI perlu dilibatkan dalam pencegahan bersama BNPT, sehingga tidak menjadi masalah hukum dan profesionalitas TNI,” ujarnya.

Gaussyah menyebutkan bahwa doktrin pertahanan dan keamanan berbeda, sehingga tidak perlu memaksakan TNI untuk masuk dalam ranah penegakan hukum. Jika Rancangan Peraturan Presiden ingin TNI dilibatkan dalam ranah pencegahan dengan bekerjasama dengan BNPT, maka tidak akan ada pertentangan.

Dalam hal terjadi pelibatan TNI, Gaussyah mengingatkan agar tidak tumpang tindih dengan instansi lain, tidak terjadi dualisme komando dan dilakukan pengawasan.

Selanjutnya, Sosiolog Dr Otto Syamsuddin Ishak yang juga merupakan Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala dalam paparannya mendukung peran TNI dalam aspek pencegahan.

“TNI tidak perlu berada di garis depan, tetapi memberikan dukungan untuk upaya preventif, yang tidak akan berbenturan dengan masalah hukum di masyarakat dan HAM,” ungkap Otto.

Namun Otto juga melihat kemungkinan peran TNI ketika terjadi pengingkatan eskalasi ancaman dari ancaman keamanan menjadi ancaman pertahanan, karena isu terorisme merupakan isu yang berkelanjutan dan bisa meningkat atau menurut dari ancaman keamanan menjadi ancaman pertahanan dan sebaliknya.

“Yang penting jelas siapa yang menentukan status tersebut dan siapa yang berwenang menangani, bukan ditentukan oleh instansi TNI sendiri,” jelas Otto.

Berbeda dengan kedua pembicara di atas, Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie menyatakan, TNI sepatutnya hanya dilibatkan untuk penindakan sebagai pilihan terakhir (last resort) dan ketika ancaman atau aksi yang dihadapi melampaui kapasitas aparat kepolisian (beyond police capacity).

"Pilihan ini mengingat pada ranah pencegahan banyak pihak lain yang relevan yang berada di pemerintah dan masyarakat," ungkapnya.

Menurut Ikhsan, saat ini Rancangan Perpres masih memiliki sejumlah masalah, antara lain substansi yang bertentangan dengan Undang-undang, adanya fungsi penangkalan yang tidak diatur dalam UU No 5/1018, tidak jelasnya pengaturan tentang keputusan dan kebijakan politik negara dalam pengerahan TNI, pengaturan tentang eskalasi ancaman dan adanya sumber anggaran di luar APBN.

Ikhsan juga menyoroti beragam pandangan negatif dalam pembahasan Rancangan Peraturan Presiden.

“Perhatian masyarakat tidak bisa disimplifikasi menjadi isu sikap atau sentimen anti TNI dan isu ego sektoral instansi lain. Masyarakat mengkritisi rancangan ini karena ada potensi pertentangan dengan Undang-undang dan kepentingan untuk menjaga reformasi TNI,” tutup Ikhsan.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda