Beranda / Analisis / Diantara Dominasi dan Meredupnya Partai Aceh

Diantara Dominasi dan Meredupnya Partai Aceh

Minggu, 11 September 2022 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi dan Dosen FISIP USK, Aryos Nivada. [Foto: ist]


DIALEKSIS.COM - Partai politik lokal cerminan dari keanomalian dari sistem politik Indonesia, hal ini terjadi akibat dinamika politik dan kepentingan kedaerahan yang terganggu atas perilaku pelaksana negara, yakni elit penguasa terhadap daerah tersebut. 

Entitas keberadaan partai lokal (Parlok) tidak bisa dipisahkan dari catatan sejarah politik Indonesia, dibuktikan pengalaman kehadiran partai politik lokal dalam Pemilihan Umum 1955. Artinya, fakta sejarah ketatanegaraan Indonesia membuktikan eksistensi Parlok nyata adanya.

Dapat disimpulkan juga bahwa keberadaan parlok bukan bukan sesuatu yang ahistoris dari sejarah ke-Indonesia-an. Di Pengalaman Pemilu 1955 tercatat hadirnya parlok meliputi Partai Gerindo Yogyakarta dengan jumlah kursi 1.

Partai Persatuan Daya Kalimantan Barat dengan jumlah kursi 1, Partai AKUI Madura dengan jumlah kursi 1, Partai Rakyat Desa Jawa Barat dengan jumlah kursi 1, dan Partai Rakyat Indonesia Merdeka Jawa Barat dengan jumlah kursi 1.

Bahkan dari golongan kelompok kedaerahan terbentuk Gerakan Pilihan Sunda (Jawa Barat), Partai Tani Indonesia (Jawa Barat), Gerakan Banteng (Jawa Barat), dan persatuan Indonesia Raya (Lombok, Nusa Tenggara Barat).

Jika mendalami hadirnya partai politik lokal, kata ahli demokrasi Herbert Feith (tahun 1999) dalam bukunya” Pemilihan Umum 1955 Di Indonesia”, membagi empat kelompok partai politik yang mendapatkan suara di DPR dan Konstituante.

Yakni partai besar, menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan daerah. Katagori (jenis) kelompok terakhir ini, menurut Feith, bisa dikategorikan partai atau kelompok yang bersifat kedaerahan dan kesukuan.

Lebih lanjut parlok menjadi alternatif untuk memperkuat dinamika politik tanpa mengancam keutuhan teritorial negara. Secara harfiahnya keberadaan parlok hanyalah mengandalkan dukungannya semata-mata pada satu wilayah atau daerah saja dari sebuah negara itu.

Partai politik lokal ini memiliki tujuan yang berbeda (tetapi pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga, pertama, hak minoritas) partai politik lokal yang melindungi dan memajukan hak ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan pendidikan dari kelompok minoritas tertentu. Tidak menutup kemungkinan hadirnya parlok bagian memperjuangkan cita-cita (mimpi) kedaerahan guna membawa perubahan sesuai harapan mimpinya.

Setelah aspek sejarah sudah terjelaskan, bagaimana posisi secara legalitas partai lokal. Intinya keberadaan partai lokal dapat dibenarkan kehadirannya, Saldi Isra menerangkan dalam tulisanya “Partai Politik Lokal” (Tempo/2005) kalau dibaca dengan cermat UUD 1945, Pasal 28 mengamanatkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Salah satu sarana untuk mewujudkan kebebasan berserikat dan berkumpul itu adalah dengan membentuk partai politik. Dengan membaca konstruksi hukum yang terdapat dalam Pasal 28, tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa UUD 1945 menutup ruang bagi kehadiran partai politik lokal.

Dialektika menguatkan pengakuan legalitas hukum terhadap Parlok, kalau dikaitkan dengan ketentuan bahwa kebebasan kemerdekaan berserikat dan berkumpul itu ditetapkan dengan undang-undang.

Maka tertera di Pasal 1 UU Nomor 31/2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, dan negara melalui pemilihan umum.

Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa partai politik dapat dikatakan sebagai representation of ideas (Ramlan Surbakti, 2002) tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan oleh sekelompok warga negara yang diperjuangkan melalui pemilihan umum.

Dalam konteks politik kekinian pasca reformasi negara “Pemerintah Pusat” hanya mengakui keberadaan partai politik di dua wilayah yakni Provinsi Papua dan Provinsi Aceh melalui regulasi berupa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Tertuang pada Pasal 28 Ayat 1 dan 2 dimaknai sebagai ruang membentuk partai politik lokal. Catatan pentingnya jikalau belum dicabut pasal tersebut.

Sedangkan pengakuan Parlok di Provinsi Aceh lahir dari sebuah produk perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka tertuang di isi Memorandum ofUnderstanding (MoU) Helsinki 2005 telah membuka peluang berdirinya partai lokal di Aceh. Pada point 1.2.1 menjelaskan sesegara mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak penandatangan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.

Atas dasar kesepakatan itu dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, pada Bab XI Partai Politik Lokal Pasal 75 ayat (1) menentukan bahwa penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal.

Selanjutnya keberadaan partai politik lokal di Aceh menjadi penanda bahwa partai politik lokal dapat eksis dalam mengawal penyelenggaraan otonomi khusus di Pemerintahan Aceh. Tak sebatas mencerminkan Otsus saja, akan tetapi bentuk identitas Aceh ditinjau secara kedaerahan (territorial wilayah).

Parlok Partai Aceh

Setelah memahami filosifis sejarah dan dasar legalitas keberadaan partai politik lokal, maka subtansi dari tulisan ini memfokuskan membahas eksistensi salah satu partai lokal di Aceh yakni Partai Aceh ditinjau dinamika keberadaannya secara kekuasaan di politik lokal Aceh.

Muncul pertanyaan mengapa objek tulisan tertuju pada Partai Aceh. Rekam jejak fakta sejarah menunjukan keberadaan PA sebagai sebuah partai lokal selalu mendominasi di parlemen Aceh (DPRA). Justifikasi lainnya disetiap momentum Pemilu selalu menjadi juara dalam perolehan kursi di parlemen.

Fakta perjalanan membuktikan, selalu ikut serta di setiap Pemilu mulai tahun 2009, 2014, dan 2019. Peserta parlok yang ikut Pemilu 2009 disahkan oleh penyelanggara yakni Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh) hanya 6 parlok saja, meliputi; Partai Aceh, Partai Aceh Aman Seujahtera, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Daulat Aceh.

Sedangkan parlok sebagai peserta Pemilu 2014 hanya terdiri Partai Aceh, Partai Nasional Aceh, dan Partai Damai Aceh. Selanjutnya di pelaksanaan Pemilu 2019 kontestan Parlok yang ikut yaitu Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Nanggroe Aceh, dan Partai Daerah Aceh.

Sekilas pandang tentang Partai Aceh berdiri tanggal 7 Juli 2007, dimana tokoh pendiri Malik Mahmud dan Muzakir Manaf bersama mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mulanya, begitu tiba masa perdamaian, para mantan gerilyawan itu membentuk partai yang diberi nama GAM, namun kemudian diubah menjadi Partai Aceh. Pemimpin partai selaku Ketua Umum Muzakkir Manaf yang dahulu menjadi Panglima Angkatan GAM.

Disini menarik mengulas trend penguasaan kekuasaan Partai Aceh di legislative (parlemen). Diawal debut hingga menjadi fenomenal menyita perhatian berbagai pihak untuk mempelajari secara keilmuan politik terhadap eksistensi Partai Aceh tersebut.

Selama perjalanan tiga kali Pemilu 2009, 20014, dan 2019, dapat kita pelajari penguasaan Partai Aceh di legislative (parlemen Aceh). Disini kita dapat lihat bagaimana eksistensi dilihat dari dinamika penguasaan kekuasaan di parlemen.

Pada Pemilu Tahun 2009, ditingkat provinsi sebanyak 33 kursi DPR Aceh atau sekitar 47,8 Persen dari 69 jumlah kursi yang tersedia berhasil disikat PA . Jumlah suara diraih PA pada Pileg 2009 adalah 1.007.173 suara atau 46.93 Persen dari total suara sah 2.146.141, dengan DPT 3.009.965 untuk seluruh Aceh.

Ditingkat Kabupaten/Kota, Pada Pemilu 2009 PA meraih total 221 kursi yang tersebar di 21 Kabupaten/Kota. Adapun Rincian kursi yang diraih PA di sejumlah Kab/kota pada Pemilu 2009 sebagai berikut :

Perolehan suara PA Kab/Kota diatas 5 kursi pada Pemilu 2009: Pidie (34 kursi), Aceh Utara (32 kursi), Bireuen (25 kursi), Pidie Jaya (16 kursi), Aceh Jaya (14 kursi), Lhokseumawe (14 kursi), Aceh Timur (13 kursi), Aceh Barat Daya (12 Kursi), Aceh Selatan (10 kursi), Aceh Besar (10 kursi), Aceh Barat (7 kursi), Banda Aceh (6 kursi), Sabang (6 Kursi), da Langsa (6 kursi).

Untuk perolehan suara PA Kab/Kota dibawah 5 kursi pada Pemilu 2009: Nagan Raya (4 kursi), Aceh Tengah (3 kursi), Aceh Tamiang (3 kursi), Simeuleu (2 kursi), Bener Meriah (2 kursi), Gayo Lues (1 kursi), dan Aceh Tenggara (1 kursi).

Adapun dua wilayah dimana Partai Aceh tidak memperoleh kursi (0 Kursi) adalah Aceh Singkil dan Subulussalam.

Hasil dari Pemilu tahun 2014, di tingkat provinsi PA kehilangan empat kursi di tengah bertambahnya jumlah kursi di parlemen. Partai Aceh pada pemilu 2014 hanya mengantongi 29 dari total 81 kursi di DPRA. Sehingga bila dibandingkan Pemilu sebelumnya, di tingkat provinsi PA mengalami penurunan sebanyak 4 kursi. Pada Pileg 2014 PA hanya mampu meraup 847.956 suara dari jumlah 2.399.159 suara sah dengan jumlah DPT 3.315.094.

Ditingkat Kabupaten/Kota, Pada Pemilu 2014 PA meraih total 180 kursi yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota. Perolehan suara PA Kab/Kota diatas 5 kursi pada Pemilu 2014. Adapun Rincian kursi yang diraih PA di sejumlah Kab/kota pada Pemilu 2014 sebagai berikut: Aceh Utara (24 kursi), Pidie (23 kursi), Aceh Timur (23 kursi), Bireuen (13 kursi), Aceh Jaya (10 kursi), Lhokseumawe (10 kursi), Aceh Besar (9 kursi), Pidie Jaya (9 kursi), Sabang (7 Kursi), Aceh Barat Daya (7 Kursi), Langsa (6 kursi), Aceh Tamiang (6 kursi), Aceh Barat (5 kursi), dan Aceh Selatan (5 kursi).

Perolehan suara PA Kab/Kota dibawah 5 kursi pada Pemilu 2014: Banda Aceh (4 kursi), Nagan Raya (3 kursi), Aceh Tenggara (3 kursi), Subulussalam (3 kursi), Bener Meriah (3 kursi), Gayo Lues (2 kursi), Simeuleu (2 kursi), Aceh Tengah (2 kursi), dan Aceh Singkil (1 kursi).

Bila dibandingkan perolehan kursi PA pada Pemilu 2009 dan 2014, perolehan kursi di DPRK tersebar merata di 23 Kab/kota dibandingkan pemilu sebelumnya, dimana PA hanya memperoleh kursi di 21 Kab/Kota.

Akan tetapi total keseluruhan kursi mengalami penurunan dari pemilu 2009 dimana PA ketika itu berhasil meraih total 221 kursi di 21 Kab/Kota sedangkan pada Pemilu 2014 justru menurun 41 kursi di 23 Kab/Kota. Sehingga pada Pemilu 2014 PA hanya mampu meraih 180 total kursi yang tersebar di 23 Kab/Kota.

Kemudian dari data yang ada dapat terlihat tren wilayah yang mengalami kenaikan kursi, wilayah yang mengalami penurunan kursi, dan wilayah yang menunjukan tidak ada penambahan kursi (kursi tetap sama dengan pemilu sebelumnya). Berikut rincian wilayah wilayah tersebut : 

1. Wilayah yang mengalami kenaikan kursi dari pemilu sebelumnya : Aceh Timur (bertambah 10 kursi dari Pemilu 2009), Subulussalam (bertambah 3 kursi/Pemilu 2009 tidak ada Kursi), Aceh Tamiang (bertambah 3 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Tenggara (bertambah 2 kursi dari Pemilu 2009), Sabang (bertambah 1 kursi dari Pemilu 2009), Gayo Lues (bertambah 1 kursi dari Pemilu 2009), Bener Meriah (bertambah 1 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Singkil (bertambah 1 kursi/Pemilu 2009 tidak ada Kursi). 

2. Wilayah yang mengalami penurunan kursi dari pemilu sebelumnya : Bireuen (menurun 12 kursi dari Pemilu 2009), Pidie (menurun 11 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Utara (menurun 8 kursi dari Pemilu 2009), Pidie Jaya (menurun 7 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Barat (menurun 7 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Barat Daya (menurun 5 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Selatan (menurun 5 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Jaya (menurun 4 kursi dari Pemilu 2009), Lhokseumawe (menurun 4 kursi dari Pemilu 2009), Banda Aceh (menurun 2 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Besar (menurun 1 kursi dari Pemilu 2009), Nagan Raya (menurun 1 kursi dari Pemilu 2009), Aceh Tengah (menurun 1 kursi dari Pemilu 2009). 

3. Wilayah tidak ada penambahan kursi/kursi tetap : Langsa (tetap 6 kursi sama dengan Pemilu 2009), Simeuleu (tetap 2 kursi sama dengan Pemilu 2009). 

Pada Pemilu 2019, perolehan suara PA di tingkat provinsi merosot drastis menjadi 18 kursi. bila dibandingkan pemilu 2014, di tingkat provinsi PA mengalami penurunan sebanyak 11 kursi. PA hanya mampu memperoleh suara sebanyak 568.110 atau 21,32 persen dari total 2.804.934 suara sah di Aceh pada Pemilu 2019 dengan jumlah DPT 3.625.469 

Ditingkat Kabupaten/Kota, Pada Pemilu 2019 PA meraih total 119 kursi yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota. Perolehan suara PA Kab/Kota diatas 5 kursi pada Pemilu 2019. Adapun Rincian kursi yang diraih PA di sejumlah Kab/kota pada Pemilu 2019 sebagai berikut: Aceh Timur (16 kursi), Aceh Utara (14 kursi), Sabang (11 Kursi), Pidie (9 kursi), Bireuen (9 kursi), Pidie Jaya (8 kursi), Lhokseumawe (7 kursi), Aceh Jaya (7 kursi), Aceh Barat (6 kursi), Aceh Besar (5 kursi), Langsa (5 kursi). 

Perolehan suara PA Kab/Kota dibawah 5 kursi pada Pemilu 2019: Aceh Tamiang (4 kursi), Nagan Raya (3 kursi), Aceh Barat Daya (3 Kursi), Aceh Selatan (3 kursi), Banda Aceh (2 kursi), Gayo Lues (2 kursi), Subulussalam (2 kursi), Aceh Tenggara (1 kursi), Bener Meriah (1 kursi), Aceh Tengah (1 kursi) , Aceh Singkil (1 kursi), dan Simeuleu (1 kursi).

Bila dibandingkan perolehan kursi PA pada Pemilu 2014 dan 2019, total keseluruhan kursi mengalami penurunan, dimana PA meraih total 221 kursi di 23 Kab/Kota pada Pemilu 2014 namun pada Pemilu 2019 justru terjun bebas menurun 102 kursi di 23 Kab/Kota sehingga hanya mampu meraih 119 total kursi yang tersebar di 23 Kab/Kota.

Kemudian dari data yang ada dapat terlihat tren wilayah, dimana PA mengalami kenaikan kursi, wilayah yang mengalami penurunan kursi, dan wilayah yang menunjukan tidak ada penambahan kursi (kursi tetap sama dengan pemilu sebelumnya). Berikut rincian wilayah wilayah tersebut :

1. Wilayah yang mengalami kenaikan kursi dari pemilu sebelumnya: Sabang (bertambah 4 Kursi dari Pemilu 2014), Aceh Barat (bertambah 1 kursi dari Pemilu 2014).

2. Wilayah yang mengalami penurunan kursi dari pemilu sebelumnya : Pidie (menurun 14 kursi dari Pemilu 2014 ), Aceh Utara (menurun 10 kursi dari Pemilu 2014), Aceh Timur (menurun 7 kursi dari Pemilu 2014), Lhokseumawe (menurun 3 kursi dari Pemilu 2014), Bireuen (menurun 4 kursi dari Pemilu 2014), Aceh Besar (menurun 4 kursi dari Pemilu 2014), Aceh Barat Daya (menurun 4 Kursi dari Pemilu 2014, Aceh Jaya (menurun 3 kursi dari Pemilu 2014), Banda Aceh (menurun 2 kursi dari Pemilu 2014), Aceh Selatan (menurun 2 kursi dari Pemilu 2014), Aceh Tamiang (menurun 2 kursi dari Pemilu 2014), Aceh Tenggara (menurun 2 kursi dari Pemilu 2014), Bener Meriah (menurun 2 kursi dari Pemilu 2014), Pidie Jaya (menurun 1 kursi dari Pemilu 2014), Langsa (menurun 1 kursi dari Pemilu 2014), Subulussalam (menurun 1 kursi dari Pemilu 2014), Simeuleu menurun1 kursi dari Pemilu 2014), Aceh Tengah (menurun 1 kursi dari Pemilu 2014) 

3. Wilayah tidak ada penambahan kursi/kursi tetap : Nagan Raya (tetap 3 kursi sama dengan Pemilu 2014), Gayo Lues (tetap 2 kursi sama dengan Pemilu 2014) dan Aceh Singkil (tetap 1 kursi sama dengan Pemilu 2014)    

Pada Pemilu 2019, terlihat wilayah yang mengalami penurunan kursi PA meningkat dari pemilu 2014. Bila pada Pemilu 2014 hanya 13 wilayah dimana PA mengalami penurunan kursi, pada Pemilu 2019 meningkat menjadi 18 wilayah yang mengalami penurunan kursi.

Data ini mengindikasikan, bahwa basis kantong suara PA kian tergerus di tiga kali pelaksanaan Pemilu 2009, 2014, dan 2019. Meski disebagian wilayah tersebut PA masih mendominasi parlemen setempat namun kepercayaan pemilih di wilayah wilayah tersebut tidak setinggi pada pemilu pemilu sebelumnya.

Sedangkan wilayah yang mengalami peningkatan kursi justru berkurang dari pemilu sebelumnya. Dimana pada Pemilu 2014 terdapat 8 wilayah yang mengalami peningkatan kursi namun pada pemilu 2019 justru wilayah yang mengalami peningkatan kursi berkurang menjadi 2 wilayah saja. Artinya kepercayaan pemilih mulai berkurang drastis terutama di kantong suara PA sendiri.

Akan halnya wilayah dengan kursi tetap tidak ada perubahan dari pemilu sebelumnya menunjukan peningkatan pada Pemilu 2019. Dimana pada Pemilu 2014 hanya 2 wilayah yang tidak mengalami pergeseran kursi dari pemilu sebelumnya.

Pada Pemilu 2019 terjadi kenaikan di 3 wilayah dimana PA tetap berhasil mempertahankan kursi di wilayah tersebut. Walau tidak berhasil menambah kenaikan kursi namun minimal di 3 wilayah tersebut PA tidak mengalami pergeseran/pengurangan kursi dari pemilu sebelumnya. Artinya dapat dikatakan di 3 wilayah tersebut pengaruh PA cukup stabil meski kemungkinan belum mampu mendominasi parlemen setempat.

Penyebab Melemahnya di Legislatif

Trend penurunan perolehan suara PA di parlemen (DPRA) maupun di kabupaten/kota dua kali Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 disebutkan Muzakir Manaf saat milad ke 14 Partai Aceh mengungkapkan karena lemahnya manajemen partai dan pola sikap kader-kader yang memiliki jabatan di pemerintahan (aceh.tribunnews.com, 7/7/2021).

Merajut informasi dari berbagai sumber ditemukan penyebab penurunan jumlah suara Partai Aceh. Dalam catatan teridentifikasikan penyebabnya, yaitu; perpecahan yang melahirkan irisan baru dari induk asalnya yakni Partai Nanggroe Aceh (Partai Nasional Aceh), banyak tokoh berpengaruh di PA mengundurkan diri keluar secara kepartaian, belum lagi konflik sesama elit di internal kelembagaan PA.

Penyebab lainnya, banyak kader yang tidak mampu merealisasikan janji politik. Belum lagi tokoh sentral di tubuh kelembagaan PA banyak hijrah ke partai nasional membuat semakin menurunnya pengaruh di konsistuennya.

Ada juga yang menyampaikan sudah mulai melemahnya ‘Mualem effect’, dikarenakan masih belum maksimalnya peran serius Mualem selaku ketum partai mengurusi partainya. Sehingga pemilih/simpatisan kecewa, akhirnya pemilih memilih partai nasional dan partai lokal lainnya.

Tantangan terbesar Partai Aceh di Pemilu 2024 nantinya, memastikan mesin partai benar-benar dapat dimaksimalkan agar mampu menaikan suara. Selain itu seluruh kader secara serius harus berupaya keras membantu partai memperoleh suara di grass root (masyarakat Aceh) supaya semakin tinggi.

Manakala itu tidak dapat diselesaikan, maka bisa dipastikan keberadaan Partai Aceh hanya sebatas partai buram semata, tanpa ada pengaruh kekuatan secara politik di pemerintahan. Tak sebatas itu saja, Partai Aceh akan susah mengembalikan kejayaannya, dikarenakan kepercayaan masyarakat Aceh sudah meredup untuk PA.

Oleh karena itu, momentum Pemilu 2024 menjadi titik penentu, apakah Partai Aceh berhasil bangkit atau sebaliknya semakin melemah. Apa yang akan dilakukan Partai Aceh, kita ikuti saja.


Penulis: Aryos Nivada

Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi dan Dosen FISIP USK 



Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda