Beranda / Analisis / Ketimpangan Gender di Panggung Politik Indonesia

Ketimpangan Gender di Panggung Politik Indonesia

Kamis, 04 April 2024 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arniv

Aryos Nivada, Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif. [Foto: for Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Analisis - Realitas saat ini perempuan Indonesia mengalami ketimpangan sosial dan budaya. Di berbagai penjuru Nusantara, banyak perempuan yang buta atau bahkan justru dibutakan secara struktural akan potensi diri yang dimilikinya sehingga hanya menjalankan peran sekunder dalam masyarakat.

Hal ini patut disayangkan, karena secara demografi jumlah perempuan di Indonesia tidak jauh berbeda. Dari total 273 juta jiwa penduduk, penduduk Laki-laki: 138.303.472 jiwa atau 50,5% dan penduduk perempuan: 135.576.278 jiwa atau 49,5% (Badan Pusat Statistik (BPS)).

Padahal, jika perempuan mendapat kesempatan dan peran yang seimbang dengan laki-laki, maka potensi sumber daya manusia di Indonesia menjadi jauh lebih besar, dan hal tersebut akan menguntungkan dan memberi manfaat bagi pembangunan bangsa.

Dalam bidang politik sendiri, presentasi keterwakilan perempuan masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan presentasi laki-laki.Representasi Politik Perempuan di Parlemen hingga kini tampaknya masih jauh panggang dari api, meski dalam Dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum telah ketentuan kewajiban kouta 30% untuk partai yang mengusung calon legislatif pada pemilu.

Sebagai gambaran di tingkat nasional pada Pemilu 2009 Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat 34,6 persen daftar calon tetap anggota DPR merupakan perempuan. Kemudian jumlah itu meningkat menjadi 37 persen pada Pemilu 2014, dan pada Pemilu 2019 mencapai kisaran 40 persen.

Dalam konteks pemilu 2024, perempuan dan anak-anak memiliki peran penting sebagai pemilih pemula. Dari total 203 juta pemilih pemilu pada 2024, sekitar 101 juta di antaranya adalah pemilih perempuan. Oleh karena itu, partisipasi perempuan dan anak dalam politik dianggap sangat krusial.

Ditilik dari pemilu-pemilu sebelumnya, memang keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif mengalami kenaikan, walaupun belum pernah mencapai kuota. Tetapi pada Pemilu 2024 jumlah itu hanya mencapai 37,13 persen atau sekitar 3.676 caleg perempuan.

Kondisi representasi perempuan terpilih di parlemen daerah juga belum menunjukan kabar gembira. Sebut saja semisal di Aceh. Meski sempat terjadi tren kenaikan perempuan masuk parlemen pada beberapa pemilu terdahulu, namun kemudian kondisi tersebut tidak bertahan lama.

Pada Pemilu 2004-2009 terdapat 4 orang perempuan atau sekitar 5,8% dari total 69 anggota DPRA Provinsi Aceh. Kemudian, pada periode 2009-2014 jumlah perempuan yang terpilih untuk kursi DPRA Provinsi Aceh masih tetap stagnan yakni hanya berjumlah 4 orang atau sekitar 5,8%.

Sedangkan pada pemilu periode 2014-2019 keterwakilan perempuan meningkat menjadi 12 orang sebesar 14,81%

Akan tetapi pada Pemilu 2024, terlihat dari rekapitulasi suara yang dilakukan KIP Aceh hanya sekitar 7 orang perempuan yang dipastikan akan masuk DPRA. Mereka adalah Tati Meutia Asmara (PKS) dari Dapil Aceh 1 (Aceh Besar, Banda Aceh, Sabang) dengan 11.236 suara badan.

Kemudian, Diana Putri Amelia (Golkar) 16.000 suara badan dan Sutarmi (NasDem) 6.431 suara badan. Keduanya berasal dari Dapil Aceh 4 (Aceh Tengah - Bener Meriah).

Selanjutnya, Syarifah Nurul Carissa (PNA) dari Dapil Aceh 5 (Aceh Utara-Lhokseumawe) mengantongi 9.380 suara badan. Sedangkan Aisyah Ismail (Partai Aceh) 16.441 suara badan dan Martini (NasDem) 6.891 suara badan berasal dari Dapil Aceh 6 (Aceh Timur). Kursi terakhir untuk DPRA perwakilan perempuan yakni petahana Nora Idah Nita (Partai Demokrat) 13.325 suara badan dari Dapil Aceh 7 (Langsa - Aceh Tamiang).

Tren penurunan representasi politik perempuan di parlemen Aceh hendaknya menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh partai Politik. Bagi partai politik aturan ini memaksa, karena terdapat mekanisme diskualifikasi sebagai peserta pemilu jika kepengurusan ditingkat pusat perempuan tidak memenuhi kuota 30%.

Aturan ini nampaknya mampu memaksa partai politik untuk memenuhi kuota minimal 30% perempuan tersebut. Namun meski dalam regulasi telah cukup mampu mendongkrak perempuan dalam daftar calon, namun dalam hal representasi di parlemen belum memadai.

Beberapa studi menunjukan kegagalan perempuan menjadi anggota legislatif dikarenakan adanya sistem budaya politik dan sistem rekrutmen oleh partai yang belum menunjukkan keberpihakan kepada calon anggota DPR RI perempuan, dan sistem pemilu proporsional terbuka yang melemahkan calon perempuan ketika akan berjuang mendulang suara (Syahputri, 2014, Purwanti, 2015, Ibrahim, Hasnani & Nanning, 1019).

Sejak pemilihan umum (pemilu) 2004 lalu, jumlah keterwakilan perempuan di parlemen terutama DPR RI masih belum mencapai 30%. Data Inter Parliamentary Union, keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen berada pada peringkat keenam dibanding negara-negara Asean.

Sedangkan, pada tingkat dunia, posisi Indonesia di peringkat ke-89 dari 168 negara di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan. Untuk mewujudkan ketertinggalan dan pencapaian target tersebut, pemerintah perlu merefleksikan agenda pembangunan global yang menekankan pentingnya kesetaraan gender.

Yaitu dengan memberi kesempatan yang sama untuk kepemimpinan perempuan di setiap tingkat pengambilan keputusan, khususnya di bidang politik pada tingkat daerah maupun nasional dengan menginisiasi grand design roadmap 30% keterwakilan.

Dalam hal ini tentu saja penting dituntut peranan partai politik (parpol) di dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen 2024. Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarki, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga.

Untuk mengatasi ketimpangan ini, pemerintah perlu merefleksikan agenda pembangunan global yang menekankan pentingnya kesetaraan gender, khususnya dalam bidang politik. Inisiasi grand design roadmap dengan target 30% keterwakilan perempuan dapat menjadi langkah konkret untuk mencapai tujuan tersebut.

Partai politik juga memiliki peran penting dalam peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Dalam sebuah sistem yang masih didominasi nilai patriarki, upaya untuk memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam bidang politik menjadi sangat penting. Masyarakat juga perlu melihat peran perempuan dalam politik sebagai sesuatu yang wajar dan diperlukan untuk mencapai kesetaraan yang lebih baik dalam masyarakat.

Penulis: Aryos Nivada (Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif)
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda