Beranda / Berita / Pemerintah Diminta Respon Cepat Tangani Kasus Papua dan UAS

Pemerintah Diminta Respon Cepat Tangani Kasus Papua dan UAS

Sabtu, 24 Agustus 2019 17:13 WIB

Font: Ukuran: - +

Mahasiswa Papua memperlihatkan poster ketika demonstrasi di depan istana negara di Jakarta, kamis 22 Agustus 2019. (AFP Photo)


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengamat Politik dan Keamanan, Aryos Nivada menilai saat ini kondisi bangsa sedang menghadapi dua problematika serius yang perlu penanganan dan respon cepat dari Pemerintah Pusat. Dua masalah yang urgen perlu cepat direspon pemerintah menurut aryos, Pertama terkait permasalahan Papua yang memicu kericuhan beberapa waktu lalu. Kedua, Terkait polemik viralnya ceramah Ustad Abdul Somad (UAS).

"Kenapa menjadi penting. Pasalnya karena dua hal ini sarat dengan nuansa konflik dan disintegrasi bangsa. Pemicunya SARA.  Oleh karenanya, Pemerintah harus lebih tanggap dan cepat jika tidak ingin masalah ini meluas dan dimanfaatkan oleh elit politik tertentu di dalam negeri maupun pihak asing" Ujar Aryos ketika dihubungi Dialeksis.com dikawasan Banda Aceh, sabtu (24/8/2019).

Pengamat Politik dan Keamanan, Aryos NivadaPengamat Politik dan Keamanan, Aryos Nivada

Aryos mengutarakan ketika dua hal ini  tidak direspon cepat, diduga akan ada pihak pihak tertentu yang memanfaatkan hal ini untuk kepentingan mereka. Baik itu dari internal maupun pihak asing diduga akan memanfaatkan untuk kepentingan mereka. Termasuk  kepentingan wilayah maupun target perpecahan Indonesia kedepannya.

"Dua kasus ini bagian pintu masuk bagi instabilitas secara keamanan dan politik Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk penanganan masalah ini. Pemerintah juga perlu membuka ruang ruang dialog untuk mendamaikan konflik yang dapat terjadi terkait dua kasus ini.  ketika negara tidak hadir, dikhawatirkan  nantinya negara akan dianggap lemah sehingga akan menjadi tolak ukur bagi negara lain untuk mengintervensi nantinya. Ketika asing masuk, maka bukan tidak mungkin kasus seperti timor leste akan berulang." Tegas Akademsi Universitas Syiah Kuala ini.

Meski demikian, aryos tidak sepakat wacana pelibatan  pihak internasional dalam menyelesaikan permasalahan Papua sebagaimana diutarakan Gubernur Papua Lukas Enembe baru baru ini.

Lukas menuturkan  harus ada perjanjian internasional dengan melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah Papua. Ia mencontohkan Perjanjian Helsinki yang menyelesaikan konflik Indonesia-Aceh.

Menurut Aryos, Kasus  papua  tidak dapat disamakan dengan Aceh.  Meski ada kesamaan dalam hal keasimetrisan pemerintahan, namun konteks dinamika politik, karakter masyarakat juga situasional yang dialami papua berbeda dengan Aceh.

" Saya rasa itu bukan solusi. Karena perjanjian internasional itu dapat menjadi pintu masuk bagi pihak asing untuk terlibat. Biarkan masalah ini ditangani oleh pemerintah dengan melibatkan stake holder" tukas alumnus Universitas Gadjah Mada ini.

Foto : AFPFoto : AFP

Senada dengan aryos, Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, juga menilai pelibatan pihak internasional tersebut tidak diperlukan. , Sekretaris Fraksi PKS ini mengharapkan Gubernur Papua Lukas Enembe semestinya ikut mendorong penyelesaian masalah secara nasional.

"Sebagai Gubernur mestinya harus percaya kemampuan Pemerintah. Sampaikan akar persoalan sesungguhnya di Papua serta usulan penyelesaian masalahnya. Saya kira yang seperti ini akan lebih konstruktif," jelasnya di jakarta seperti dikutip Tribun News, Sabtu (24/8/2019).


Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Buya Syafii Maarif turut mengimbau pemerintah berhati-hati dalam menangani masalah Papua.  Dia menilai masalah Papua tidaklah sederhana dan kerapkali diperparah oleh kepentingan pihak luar.

"Memang masalah Papua ini seperti api dalam sekam. Masalahnya ini ndak sederhana. Kalau kita lihat Papua ini masuk ke Republik baru tahun 60-an, bukan dari awal ya. Dan itu bertahun-tahun jadi wilayah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Memang tidak mudah," kata Buya Syafii Maarif di Jakarta seperti dikutip detikcom, Sabtu (24/8/2019).

Kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat pada Senin (19/8/2019) dipicu dari pengepungan asrama dan penangkapan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Aksi kekerasan itu disertai tindakan rasisme yang ditujukan kepada para mahasiswa Papua oleh sejumlah pihak.


Pelapor UAS Kukuh Lanjutkan Proses Hukum

Sementara terkait kasus Ustaz Abdul Somad (UAS), Meski beragam kalangan telah mengimbau agar pelapor UAS mencabut laporan, namun Pelapor UAS menegaskan  tetap bersikukuh melanjutkan proses hukum.

"Tetap lanjut (proses hukum). Perihal klarifikasi UAS, kami memang sedari awal memasukkan laporan dengan asas praduga. Artinya bukan menghakimi atau menuduh, hanya serta merta agar kerukunan umat beragama tidak terpecah belah oleh berita yang simpang siur," kata salah satu pelapor UAS dari Presidium Masyarakat Menggugat, Ade Sarah Prinasari, seperti dikutip detikcom, Jumat (23/8/2019).

Pelapor UAS dari Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Korneles Jalanjinjinay juga meminta agar proses hukum tetap berjalan. Ia berharap polisi segera memanggil UAS dan memproses laporan terhadapnya.

Sejauh ini terdapat empat laporan terhadap UAS yang masuk ke kepolisian. Antara lain dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Presidium Rakyat Menggugat (PRM), DPD Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Jawa Timur dan  perkumpulan masyarakat batak, Horas Bangso Batak (HBB)

Di Aceh, pada hari yang sama, Jumat (23/8/2019), Sejumlah massa menggelar aksi damai di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh,  dalam rangka memberi dukungan untuk Ustaz Abdul Somad (UAS) yang dinilai dikriminalisasikan.

Sementara  UAS sendiri  menolak  meminta maaf terkait kutipan ceramahnya terkait pandangan Islam tentang salib. Menurutnya, ceramah itu dilakukan di tengah umat Islam. Bahkan, ia mengatakan jika ada orang luar yang tersinggung terkait ceramah tersebut. Kemudian, ia bertanya apakah dirinya harus  meminta maaf.

"Saya menjelaskan tentang akidah agama saya di tengah komunitas Umat Islam, di dalam rumah Ibadah saya. Bahwa kemudian ada yang tersinggung dengan penjelasan saya, apakah saya mesti meminta maaf?" katanya usai memenuhi panggilan MUI di Kantor MUI, di Jakarta, Rabu (21/8/2019) .

Ustaz Abdul Somad memberikan keterangan pers di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/8). [Foto : Suara.com/Arya Manggala]Ustaz Abdul Somad memberikan keterangan pers di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/8). [Foto : Suara.com/Arya Manggala]

Sebelumnya, Ketua Umum Majelis Syura Partai Bulan Bintang (PBB), Malem Sabat Kaban mengatakan upaya mempolisikan Ustadz Abdul Somad (UAS) dengan tuduhan penistaan agama akan membangkitkan ghirah keimanan umat Islam. . Hal tersebut disampaikan mantan Menteri Kehutanan Era SBY ini melalui akun Twitternya @hmskaban. 

Dalam cuitannya Minggu, 18 Agustus 2019 pukul 11.28 WIB ini, MS Kaban menyebut UAS saat ini adalah Datuk Seri Ulama Setia Negara, sebuah gelar diberikan Lembaga Adat Melayu Riau (LMAR). Ia meyakini, mempolisikan UAS berarti membuat masyarakat Melayu tidak akan tinggal diam dengan perlakuan seperti ini.

"Ingat UAS Datuk Sri Styanegara, kaumnya tidak mungkin diam. Ghirah Riau, ghirah melayu tak melayu kalau bukan islam," tulisnya kembali.  (pd/dbs)



Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda